Vol. 3, No. 2, Juli 2022
p-ISSN 2798-4125;e-ISSN 2798-4311
glosains.greenpublisher.id
Razak) dan (H. P. Hutagalung) dalam jurnal Latuconsina di perairan muara Angke
menunjukkan bahwa air laut, udang, kerang-kerangan dan beberapa jenis ikan yang hidup
di muara Angke telah tercemar oleh merkuri (Hg), timbal (Pb) dan kadmium (Cd).
Selanjutnya disebutkan bahwa sumber bahan cemaran tersebut berasal dari kegiatan di
darat, khususnya industri yang membuang limbahnya ke Kali Angke (Rosihan & Husaini,
2017).
Berdasarkan keputusan Menteri negara lingkungan hidup nomor 51 tahun 2004
dalam buku mutu air laut nilai baku mutu kadmium adalah 0,001 mg/l. Terdapat sebuah
penelitian terhadap status kandungan logam berat di perairan pesisir Kabupaten Aceh Utara
dan Kota Lhokseumawe.
Dimana pada tahun 2015 sampai 2016, untuk kadmium (Cd) untuk di bulan Mei
2015 yaitu untuk maksimalnya <0,005 ppm dan minimal <0,002 ppm. Bulan Februari 2016
yaitu maksimal 0,0003 ppm dan minimal 0,0002 ppm. Dan pada bulan Juli 2016 yaitu
maksimal <0,005 ppm dan minimal <0,005 ppm. Logam berat kadmium (Cd) juga dapat
terakumulasi pada biota laut contohnya seperti kerang. Kerang adalah biota yang
berpotensial untuk terkontaminasi dengan logam berat, hal ini dikarenakan mereka hidup
di dalam sedimen (lumpur) sehingga kerang sering digunakan sebagai hewan uji untuk
pemantauan tingkat akumulasi logam berat pada organisme di laut.
Di Indonesia kerang banyak ditemukan di daerah pesisir Sumatera Barat, Selatan,
Nusa Tenggara Timur, Jawa, Selat Malaka, pantai utara Jawa, pantai timur Jawa, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Aceh, Kalimantan Barat, Selatan dan Timur, Maluku dan
Papua. Kerang banyak ditemukan pada topografi pantai yang landai sampai kedalaman 20
m. Kerang Darah (Anadara granosa) merupakan jenis kerang-kerangan yang sering di
manfaatkan oleh masyarakat Kota Lhokseumawe sebagai salah satu sumber mata
pencaharian jenis kerang ini memiliki nilai ekonomis tinggi untuk dikembangkan sebagai
sumber protein dan mineral untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat hal ini
membuat daya tarik bagi para konsumen kerang darah sendiri.
Kerang darah bersifat filter feeder yaitu, memperoleh makanan dengan cara
menyaring air, dan memakan sedimen sehingga dapat mengakumulasi logam berat pada air
tersebut dengan jumlah yang sangat tinggi (Falah, Purnomo, & Suryanto, 2018).
Kerang darah dapat tinggal di muara sungai dan mendapatkan asupan limbah yang
cukup besar, tidak hanya limbah rumah tangga tetapi juga limbah industry. Dibandingkan
manusia, kerang darah sangat lebih resisten dengan akumulasi logam berat pada tempat dia
berada. Oleh karena itu, kerang merupakan indikator biologis yang baik untuk melihat
apakah terjadi pencemaran di perairan tersebut (Ali, 2017). Kerang sebagai salah satu biota
air yang dapat dijadikan indikator untuk melihat tingkat pencemaran di dalam suatu
perairan (Triantoro, Suprapto, & Rudiyanti, 2018).
Pada rangka untuk melakukan perlindungan kepada masyarkat, suatu negara
membuat standarisasi batas maksimum cemaran pada suatu produk pangan. Menurut
Badan Standarisasi Nasional untuk Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan.
Menurut SNI no. 7387 pada tahun 2009, untuk batas maksimum cemaran kadmium (Cd)
dalam pangan untuk kekerangan (bivalve) Moluska dan teripang yaitu sebesar 1,0 mg/kg.
Untuk batas kandungan logam berat Kadmium (Cd) yang dianjurkan oleh ILO/WHO
(1992) bahwa untuk hewan laut atau biota terutama dalam hal ini yaitu kerang yang layak
dikonsumsi oleh masyarakat adalah sebesar 0,1 ppm.
Apabila masyarakat mengkonsumsi kerang yang mengandung unsur logam berat
dalam jumlah yang tinggi, hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat
tersebut (Agustina, 2014). Beberapa unsur logam berat yang umumnya ditemukan pada
kerang yaitu timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan seng (Zn). Apabila tubuh