Vol. 3, No. 1, Januari 2022
p-ISSN 2798-4125; e-ISSN 2798-4311
8 glosains.greenpublisher.id
ANALISIS TOTAL NILAI EKONOMI KAWASAN HUTAN MANGROVE
DALAM PENGEMBANGAN ECOTOURISM DI KOTA LANGSA ACEH
Safuridar
1
, Salman
2
dan Iqlima Azhar
3
1,2,3
Universitas Samudra, Indonesia
1
, salman@unsam.ac.id
2
dan
3
Diterima:
26 Desember 2021
Direvisi:
07 Januari 2022
Disetujui:
10 Januari 2022
Abstrak
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya hutan yang
sangat potensial sehingga memiliki peranan sangat penting
dalam wilayah ekosistem pesisir dan laut terutama daerah pantai.
Pemeliharaan dan pengelolaan ekosistem mangrove merupakan
masalah yang harus dihadapi bersama demi kelangsungan dan
kelestarian hutan mangorove. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis besarnya potensi manfaat langsung dan
manfaat tidak langsung, nilai ekonomi total kawasan hutan
mangrove dalam pengembangan ekowisata Kota Langsa. Metode
analisis yang digunakan adalah dengan analisis manfaat dan
biaya. Untuk seluruh jenis fungsi dan manfaat kawasan hutan
mangrove menggunakan nilai ekonomi total (Total Economic
Value/TEV) secara deskriptif. Hasil Penelitian menunjukkan
bahwa nilai total manfaat ekonomi dari hutan mangrove
Gampong Kuala Langsa, Aceh adalah sebesar Rp.
2.958.847.000,- perbulan yang diperoleh dari 1) nilai manfaat
langsung dari ikan, kepiting, udang, kerang dan pengolahan hasil
laut adalah sebesar Rp.213.710.000,-perbulan, 2) nilai manfaat
ekonomi tak langsung adalah sebesar Rp.1.014.379.000,-
perbulan yang diperoleh dari kegiatan berdagang dan
menyewakan perahu. 3) nilai pilihan sebesar Rp.1.729.038.000,-
perbulan yang berasal dari keanekaragaman hayati, 4) nilai
keberadaan Rp.1.720.000,- perbulan. Terdapat surplus konsumen
masyarakat dalam kesediaan membayar keberadaan hutan
mangrove sebesar Rp. 2,705,054.12 perbulan.
Kata kunci: Total Economi Value, Hutan Mangrove, Ekowisata,
Kuala Langsa
Abstract
Mangrove forest is one of the potential forest resources so that it
has a very important role in coastal and marine ecosystems,
especially coastal areas. The maintenance and management of
mangrove ecosystems is a problem that must be faced together
for the sake of the continuity and sustainability of mangrove
forests. The purpose of this study was to analyze the magnitude
of the potential direct and indirect benefits, the total economic
value of the mangrove forest area in the ecotourism development
of Langsa City. The analytical method used is the analysis of
benefits and costs. For all types of functions and benefits of
mangrove forest areas, the total economic value (TEV) is
descriptively used. The results showed that the total value of
economic benefits from the mangrove forest of Gampong Kuala
Analisis Total Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove
dalam Pengembangan Ecotourism di Kota Langsa Aceh
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Safuridar, Salman dan Iqlima Azhar 9
Langsa, Aceh was Rp. 2.958.847.000,- of the month which was
obtained from 1) the direct benefit value from fish, crabs,
shrimp, shellfish and seafood processing was amounting to Rp.
213.710.000,- of the month, 2) The value of indirect economic
benefits is Rp. 1.014.379.000,- of the month obtained from
trading activities and renting boats. 3) The value of choice is Rp.
1.729.038.000, - of the month from biodiversity, 4) The value of
being is Rp. 1.720.000, - of the month. There is a surplus of
community consumers in their willingness to pay for the
existence of mangrove forests of Rp. 2,705,054.12 of the month.
Keywords: Total Economic Value, Mangrove Forest,
Ecotourism, Kuala Langsa
Pendahuluan
Berdasarkan visi Walikota Langsa Tahun 2017 adalah menjadikan Kota Langsa
sebagai kota jasa dan industri yang maju dan islami, sedangkan misi yang dilakukan
adalah melanjutkan penataan kota untuk menciptakan lingkungan yang hijau, sehat,
indah, nyaman, tertib dan aman serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat
melalui penataan ekowisata mangrove dan pembangunan masyarakat sadar wisata di
Kuala Langsa dan sekitar lokasi ekowisata hutan mangrove (Firmansyah, 2019). Melalui
visi dan misi tersebut sangat dibutuhkan adanya pembangunan berkelanjutan dengan
memadukan kemampuan lingkungan, sumber daya alam dan teknologi agar dapat
melestarikan lingkungan hutan mangrove di Kota Langsa. Kota Langsa merupakan Kota
pertama di Aceh yang berhasil mengembangkan sektor pariwisata ekosistem mangrove
yang terletak di Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa dengan luas sebesar 8.000 Ha
(Langsa, 2018).
Hutan mangrove sangat menentukan dan menunjang tingkat perkembangan sosial
dan perekonomian masyarakat disekitarnya (Lumbessy, Rengkung, & Gosal, 2015).
Berdasarkan sisi ekonomis, hutan mangrove adalah penghasil produk hasil hutan yang
mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi, seperti kayu, sumber pangan, bahan untuk
kosmetika, bahan untuk pewarna dan penyamak kulit, serta sumber pakan ternak dan
lebah (Suri & Purwanto, 2020). Selain itu, hutan mangrove merupakan tempat tinggal
berbagai jenis ikan dan udang serta hewan-hewan lainnya (Al Idrus, Ilhamdi,
Hadiprayitno, & Mertha, 2018). Hal tersebut sangat mendukung peningkatan
perekonomian masyarakat yang berada disekitar hutan manggrove. Ekosistem mangrove
merupakan suatu ekosistem pantai yang unik dan sangat menarik sehingga sangat banyak
memberikan kontribusi atau manfaat dalam kehidupan masyarakat, baik manfaat secara
langsung maupun manfaat tidak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
dan luar Kota Langsa (Wardhani, 2011). Hutan mangrove memiliki nilai estetika, baik
dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada didalamnya (Haryani, 2013). Hutan
mangrove memberikan objek wisata yang berbeda dengan objek wisata alam lainnya.
Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan
dan pesona alam yang sangat indah sehingga bisa dijadikan sebagai objek wisata alam
oleh masyarakat (Andiny, 2020). Hal ini dapat mendorong masyarakat baik secara
domestik maupun masyarakat luar domestik untuk melakukan wisata kehutan mangrove.
Akan tetapi akibat dari adanya kunjungan tersebut menjadikan ekosistemnya menjadi
terganggu kelestariannya, hal ini disebabkan karena adanya pemikiran masyarakat bahwa
tempat wisata merupakan milik bersama yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun (Sahide,
2013). Sehingga mengakibatkan penggunaan berlebihan yang berdampak terhadap
ketersediaaan sumber daya semakin langka. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran
Vol. 3, No. 1, Januari 2022
p-ISSN 2798-4125; e-ISSN 2798-4311
10 glosains.greenpublisher.id
masyarakat terhadap potensi hutan mangrove sebagai nilai ekonomi maka diperlukan
suatu penilaian ekonomi terhadap manfaat dan fungsi hutan mangrove (Zainuri,
Takwanto, & Syarifuddin, 2017). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
besarnya potensi manfaat langsung dan manfaat tidak langsung, serta untuk mengetahui
nilai ekonomi total kawasan hutan mangrove dalam pengembangan ekowisata Kota
Langsa.
Metode Penelitian
Untuk menghitung potensi manfaat dan nilai ekonomi kawasan hutan mangrove
dalam pengembangan ekowisata Kota Langsa metode yang digunakan adalah :
1. Manfaat langsung atau Direct Use Value adalah jenis manfaat yang lansung dapat
diperoleh dari hutan mangrove atau sebagai bentuk manfaat aktual yang dilakukan
oleh masyarakat, seperti mengolah kayu bakar, menangkap ikan, menangkap
kepiting, menangkap udang, mengumpulkan kerang dan lain-lain, dihitung
menggunakan persamaan Fauzi (2006) dalam TML = ML
1
+ ML
2
+ ML
3
+
ML
4
+ n
Dimana :
TML = Nilai Manfaat Langsung,
ML
1
= Nilai Manfaat Langsung Kayu Bakar
ML
2
= Nilai Manfaat Langsung Penangkapan Ikan
ML
3
= Nilai Manfaat Langsung Penangkapan Kepiting
ML
4
= Nilai Manfaat Langsung Pengumpulan Kerang.
n = manfaat langsung lainnya.
2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Value)
Perhitungan manfaat tidak langsung hutan mangrove digunakan metode
replacement cost. Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove diperoleh dari suatu
ekosistem secara tidak langsung, yakni berupa manfaat fisik, biologis dan ekologis
(Pattimahu, 2010)
MTL = MTL
1
+ MTL
2
+ n
Dimana :
MTL = Nilai Manfaat Tidak Langsung,
ML
1
= Nilai Manfaat Tidak Langsung Berjualan
ML
2
= Nilai Manfaat Tidak Langsung menyewa Perahu/Kapal
ML
3
= Nilai Manfaat Tidak Langsung Lainnya
. n = manfaat tidak langsung lainnya
3. Nilai manfaat pilihan hutan mangrove dapat dihitung dengan menggunakan formula
:
MP = MPb = (USD 15 per ha) x Luas Hutan Mangrove
Dimana ;
MP = manfaat pilihan.
Perhitungan nilai manfaat pilihan diperoleh dengan mengkonversikan nilai
keanekaragaman hayati USD 15 per ha tersebut ke dalam nilai rupiah.
4. Nilai Manfaat Ekonomi Total (Total Economic Value)
Menurut (Dahuri, 2003), Teknik perhitungan untuk menilai ekonomi suatu
sumberdaya, mengacu pada metode valuasi ekonomi atau Total Economic Value
(TEV) Nilai manfaat ekonomi total dari hutan mangrove merupakan penjumlahan
dari seluruh nilai ekonomi dari manfaat hutan mangrove yang telah diidentifikasi
dan dikuantifikasikan. Secara matematis dapat dirumuskan dalam persamaan
berikut:
Analisis Total Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove
dalam Pengembangan Ecotourism di Kota Langsa Aceh
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Safuridar, Salman dan Iqlima Azhar 11
TEV = ML +MTL + MP
Dimana :
TEV = Total Economic Value
ML = Manfaat Langsung
MLT = Manfaat Penggunaan Tidak langsung
MP = Manfaat pilihan
Menjumlahkan manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove ke dalam nilai uang.
Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditi-komoditi yang langsung dapat
diperdagangkan, seperti kayu bakar, kepiting bakau dan ikan.
5. Manfaat eksistensi adalah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan
ekosistem yang diteliti setelah manfaat lainnya (manfaat langsung, tidak langsung
dan manfaat pilihan). Manfaat ini adalah nilai ekonomis keberadaan (fisik) dari
ekosistem yang diteliti. Formulasinya adalah sebagai berikut:
n
ME = (MEi)/ n
i = 1
(dimasukkan kedalam nilai Rupiah)
Dimana :
ME = Manfaat Eksistensi
MEi = Manfaat Eksistensi dari responden ke-1 sampai ke ke n
n = Jumlah responden.
Hasil dan Pembahasan
1. Identifikasi nilai manfaat dan potensi ekosistem hutan mangrove di Gampong
Kuala Langsa, Aceh
Berdasarkan hasil penelitian jenis manfaat langsung dari hutan mangrove di
Gampong Kuala Langsa adalah berasal dari pengolahan kayu bakar, hasil tangkapan
nelayan berupa ikan, udang, kerang, kepiting, dan pengolahan hasil laut. Jenis manfaat
tidak langsung adalah berupa ekosistem hutan mangrove yang dinikmati oleh masyarakat
dalam menghasilkan pendapatan lainnya seperti berjualan, menyediakan jasa sewa
perahu/kapal, alat tangkap ikan, menjadi tukang parkir. Dengan adanya hutan mangrove
dapat menyediakan lapangan kerja, memberi peluang dalam kesempatan berusaha,
sebagai tempat rekreasi. Masyarakat juga berperan dalam menjaga ekosistem, maka hutan
mangrove dapat mencegah banjir, perlindungan terhadap angina dan juga berfungsi
sebagai tempat untuk menambah pengetahuan (Utomo, Budiastuti, & Muryani, 2017).
Hutan Mangrove di Gampong Kuala Langsa sangat berpotensi dalam pengembangan
ekowisata, seperti wisata dalam berfoto, fasilitas perahu, kuliner, mengamati keindahan
flora dan fauna, tempat bersantai di sore hari, olah raga sepeda dalam menikmati
keindahan sekitar hutan mangrove serta keindahan terbit dan tenggelamnya matahari.
Berdasakan penelitian Ria Indrawan (2013) Potensi lain dari hutan mangrove di Desa
Margasari yang berpeluang memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar
adalah pemanfaatan daun nipah (Nypa fruticans). Desa Palaes, Kecamatan Likupang
Barat, Kabupaten Minahasa Utara menunjukkan bahwa daun nipah dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar hutan mangrove sebagai bahan dasar membuat atap rumah (woka).
Potensi jasa lingkungan hutan mangrove adalah mencegah pencemaran air tambak
dengan menetralisir zat-zat atau limbah. Manfaat tak langsung hutan mangrove Nusa
Tenggara Barat adalah sebagai pencegah pencemaran air tambak sebesar Rp
Vol. 3, No. 1, Januari 2022
p-ISSN 2798-4125; e-ISSN 2798-4311
12 glosains.greenpublisher.id
1.354.931.610,000 per tahun. Berdasarkan hasil penelitian Ria Indrawan (2013),
masyarakat Desa Margasari masih menggunakan bak penampungan sementara untuk
menjernihkan air tambak. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi jasa hutan mangrove
Desa Margasari sebagai pencegah pencemaran air tambak belum optimal. Sedangkan di
Gampong Kuala Langsa dalam menjernihkan air tambak nelayan masih menggunakan
potensi jasa lingkungan hutan mangrove.
2. Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Gampong Kuala Langsa, Aceh
Nilai guna langsung hutan mangrove adalah manfaat yang langsung diambil dari
sumberdaya alam (Ariftia, Qurniati, & Herwanti, 2014). Berdasarkan hasil penelitian,
nilai manfaat langsung dari hutan ekosistem mangrove bagi masyarakat yaitu produksi
ikan, udang, kepiting, pengolahan hasil laut seperi kerupuk, ikan asin, sirup mangrove
dan ekowisata seperti dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1.
Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Hutan Mangrove Kota Langsa, Aceh
No
Jenis Nilai Manfaat Langsung
Rp Perbulan
1
Ikan
58,200,000
2
Udang
15,040,000
3
Kepiting
52,320,000
4
Kerang
37,940,000
5
Pengolahan Hasil Laut
24,560,000
6
Ekowisata
25,650,000
Jumlah
213,710,000
Sumber : Data Primer diolah, 2021
Nilai manfaat dari hasil tangkapan ikan adalah Rp.58.200.000 atau 27,23 % dengan
jumlah total produksi perbulan sebesar 1.455 kg dan harga jual ikan rata-rata sebesar
Rp.40.000 per kg. Jenis dan harga ikan yang dihasilkan sangat bervariasi sehingga
pendapatan yang diperoleh oleh nelayan juga bervariasi. Hasil tangkapan ikan juga sangat
dipengaruhi oleh waktu dan musim, dimana ada waktu tertentu yang tidak
memperbolehkan nelayan ke laut seperti pada hari jum’at, karena ini merupakan suatu
adat istiadat atau tradisi yang ada di Aceh. Nilai manfaat dari hasil produksi udang adalah
Rp.15.040.000 yang diperoleh dari hasil tangkapan udang sebesar 376 kg perbulan
dengan harga rata-rata sebesar Rp.40.000 per kg. Hasil tangkapan udang yang diperoleh
oleh nelayan sangat terganyung dari jenis dan ukuran udang yang didapat. Jika udang
dalam ukuran kecil maka harganya murah dan sebaliknya jika ukurannya lebih besar
maka nelayan akan memperoleh pendapatan yang tinggi. Nilai manfaat langsung yang
lain adalah berasal dari hasil tangkapan kepiting yaitu sebesar Rp. 52.320.000 atau 24,48
% , ini merupakan nilai manfaat tertinggi setelah hasil tangkapan ikan. Selain menangkap
kepiting disekitaran hutan mangrove beberapa masyarakat juga menjalankan kegiatan
budidaya kepiting ditambak. Jumlah total hasil tangkapan dan budidaya kepting adalah
sebesar 872 kg per bulan dengan jual rata-rata per Kg adalah sebesar Rp.40.000.
Nilai manfaat langsung dari kerang adalah sebesar Rp. 37.940.000 atau 17,75%
yang diperoleh dari total keseluruhan produksi kerang perbulan sebesar 1.048 kg perbulan
dengan harga jual rata-rata sebesar Rp.35.000 per kg. Jenis kerang yang dicari oleh
masyarakat disekitar hutan mangrove Gampong Kuala Langsa adalah tiram,(bivalvia) dan
kerang hijau. Kegiatan mencari tiram merupakan rutinitas yang banyak dilakukan oleh
Analisis Total Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove
dalam Pengembangan Ecotourism di Kota Langsa Aceh
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Safuridar, Salman dan Iqlima Azhar 13
masyarakat di sekitaran hutan mangrove. Tiram yang sudah dikumpulkan kemudian
dipisahkan daging dari cangkang nya oleh ibu-ibu yang ada diwilayah tersebut. Para
pengunjung hutan mangrove dapat melihat langsung proses pemisahan daging kerang dari
cangkangnya, karena kegiatan ini dilakukan di pinggir jalan arah menuju hutan
mangrove. Selain kerang nilai manfaat dari hutan mangrove adalah adanya hasil
pengolahan dari hutan dan laut seperti sirup mangrove yang dibuat dari olahan buah
mangrove, permen da nada juga penduduk yang mengolah hasil tangkapan ikan nelayan
menjadi ikan asin dan kerupuk. Adapun nilai manfaat dari hasi pengolahan laut adalah
sebesar Rp. 24,560,000 per bulan atau 11,49%. Nilai manfaat secara langsung dari hutan
mangrove juga diperoleh dari adanya kegiatan wisata hutan mangrove di Gampong Kuala
Langsa, Aceh yang sebesar Rp. 25,650,000 atau 12 %. Nilai ini diperoleh berdasarkan
estimasi seluruh biaya perjalanan (travel cost method) yang dikeluarkan oleh pengunjung
untuk melakukan kegiatan wisata di hutan mangrove Kota Langsa. Penelitian yang
dilakukan oelh Fatimah (2012) dimana estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Pesisir
Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur sebagai tujuan ekowisata, dan
menunjukkan nilai sebesar Rp 2.422.000,00 per tahun.
Dengan demikian berdasarkan potensi dari masing-masing nilai manfaat langsung
hutan mangrove di Kota Langsa maka total nilai manfaat langsung adalah sebesar Rp.
213.710.000 perbulan dan dalam satu tahun total nilai manfaat yang diperoleh adalah
sebesar Rp.2.564.520.000. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ria Indrian Ariftia
(2014) total nilai guna langsung hutan mangrove Desa Margasari sebesar Rp
1.877.440.000,00 per tahun dan hasil penelitian Hiariey (2009) di Desa Tawiri, Ambon
menunjukkan bahwa total nilai guna langsung hutan mangrove sebesar Rp 11.299.500,00
per tahun. Perbedaan ini terjadi karena masing-masing wilayah hutan mangrove pada
setiap daerah yang diteliti memiliki potensi alam dan luas lahan yang berbeda-beda.
3. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Hutan Magrove Gampong Kuala
Langsa, Aceh
Nilai manfaat tidak langsung adalah nilai yang secara tidak langsung dirasakan
manfaatnya (Alam, Supratman dan Alif, 2009). Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara maka nilai mafaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove Gampong Kuala
Langsa dapat diidentifikasi seperti pada Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2.
Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Hutan Mangrove Kota Langsa, Aceh
No.
Jenis Kegiatan Manfaat Tidak
Langsung
Rp Perbulan
%
1.
Pedagang
29.515.000
2,91
2.
Penyewaan Perahu
27.610.000
2,72
3.
Pakan Alami Biota Laut
32.254.000
3,18
4.
Penghalang Intrusi Air Laut
300.000.000
29,57
1.
Pembangunan Pelantaran Halaman
Mangrove
625.000.000
61,61
Jumlah
1.014.379.000
100,00
Sumber : Data Primer diolah, 2021
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan responden nilai manfaat tidak
langsung dari kegiatan berdagang di sekitaran hutan mangrove Kota Langsa adalah
sebesar Rp.29.515.000 per bulan atau 51,67%. Adapun kegiatan berdagang yang
dilakukan oleh masyarakat diseputaran hutan mangrove seperti berjualan makanan dan
Analisis Total Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove
dalam Pengembangan Ecotourism di Kota Langsa Aceh
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
14 glosains.greenpublisher.id
minuman,warung kopi, kios jajanan, warung mie dan rempah-rempah dan sebagainya.
Jenis manfaat tidak langsung berikutnya dalah kegiatan responden dalam menyewa
perahu dan bot kecil dengan nilai manfaat sebesar Rp.27.610.000 per bulan. Hampir rata-
rata rumah penduduk yang ada diseputaran hutan mangrove mempunyai perahu kecil
yang biasanya digunakan untuk kegiatan sehari-hari dalam bekerja. Pada saat nelayan
tidak menggunakan perahu maka akan disewakan untuk penyewa. Berdasarkan informasi
yang diperoleh oleh peneliti, adapun besaran harga sewa perahu adalah antara Rp.85.000
perjam sampai dengan Rp.200.000 perjam tergantung dari ukuran perahu yang
digunakan. Dalam satu minggu rata-rata perahu disewa 4 sampai 8 jam bahkan ada yang
sampai 3 hari.
Untuk nilai manfaat dari hasil penyedia pakan biota laut adalah merupakan
perhitungan dengan menggunkan pendekatan harga pakan ikan yang ada di tempat
penelitian. Hasil penelitian dilakukan oleh Agus Putra A.Samad tahun 2020 luas tambak
keseluruhan di Kawasan hutan mangrove Kuala Langsa adalah 5.180 Ha dengan penahan
abrasi dan banjir Rp.300.000.000,-penyedia unsur hara sebesar 32.254 per Ha. Nilai
manfaat tidak langsung dari pembangunan pelantaran halaman mangrove adalah
sebesarRp. 625.000.000,-. Berdasarkan jenis kegiatan maka nilai manfaat tidak Langsung
Ekosistem Hutan Mangrove Kota Langsa, Aceh adalah Rp. 1.014.379.000.
4. Nilai Pilihan
Nilai pilihan adalah nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan
datang (Husin, 2019). Nilai pilihan hutan mangrove diestimasi menggunakan nilai
keanekaragaman hayati (biodiversity). Nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di
Indonesia adalah US$ 15 per hektar per tahun (Mayudin, 2013). Nilai pilihan hutan
mangrove didapat dengan mengalikan nilai biodiversity yaitu US$ 15/hektar/tahun dikali
dengan luas hutan mangrove di lokasi penelitian. Berdasarkan Kurs Rupiah pada saat
penelitian (2021), 1 US$ adalah sebesar Rp.14.408,65 dengan luas wilayah hutan
mangrove Kota Langsa 8.000 Ha, maka diperoleh nilai pilihan sebesar
Rp.1.729.038.000,-. Dengan adanya nilai piliha ini menunjukkan bahwa hutan mangrove
di Kota Langsa mangrove memiliki intangible benefit (nilai jasa dan lingkungan) yang
sangat tinggi sehingga pentingnya estimasi nilai ekonomi hutan mangrove ke dalam nilai
rupiah agar masyarakat mengetahui betapa besarnya nilai ekologis hutan mangrove yang
selama ini diabaikan karena dianggap tidak memiliki nilai pasar (Maulida, Supriharyono,
& Suryanti, 2019). Hasil penelitian ini berbeda dengan Mayudin menunjukkan bahwa
nilai pilihan hutan mangrove di Kabupaten Pangkajene Sulawesi Selatan adalah Rp
82.503.000,00 per tahun. Perbedaan nilai pilihan ini disebabkan karena luas hutan
mangrove di Kabupaten Pangkajene yang lebih kecil jika dibandingkan denga luas hutan
mangrove di Kota Langsa. Hasil penelitian juga berbeda dengan penelitian Ria Indrian
Ariftia dengan nilai pilihan sebesar Rp 103.425.000,00 per tahun juga dipengaruhi oleh
perbedaan luas wilayah hutan mangrove.
5. Nilai keberadaan
Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu
sumberdaya alam (Fitri, 2018). Berdasarkan hasil wawancara didapatkan total nilai
willingness to pay yang diberikan responden terhadap keberadaan mangrove di Kota
Langsa sebagai warisan adalah sebesar Rp.1.720.000,-
Analisis Total Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove
dalam Pengembangan Ecotourism di Kota Langsa Aceh
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Safuridar, Salman dan Iqlima Azhar 15
Tabel 3.
Nilai Keberadaan Hutan Magrove Gampong Kuala Langsa, Aceh
WTPi(Rp perbulan)
Jumlah Responden
WTP (Rp perbulan )
%
2,000
10
20,000
1.16
5,000
15
75,000
4.36
10,000
18
180,000
10.47
15,000
8
120,000
6.98
20,000
10
200,000
11.63
25,000
11
275,000
15.99
30,000
5
150,000
8.72
50,000
2
100,000
5.81
100,000
6
600,000
34.88
Total
85
1,720,000
100.00
Rwp
20,235.294
%r
0.76
Responden
75
Twp = Rwp x P
11,271,058.82
Tnp = %r x Twp
8,566,005
Ts = Twp - Tnp
2,705,054.12
Sumber : Data diolah (2021)
Keterangan:
Rwp : Rata-rata kesediaan membayar seluruh responden (Rp per tahun)
Twp : Total nilai kesediaan membayar (Rp per tahun)
Tnp : Total nilai yang dibayarkan seluruh responden (Rp per tahun)
Ts : Total surplus konsumen (Rp per tahun)
%r : Persentase responden yang bersedia membayar
r : Jumlah responden yang bersedia membayar
Berdasarkan hasil penelitian dalam satu bulan terjadi surplus konsumen dalam
kesediaan membayar sebesar Rp.2.705.054,12. Dari 85 responden terdapat 24% yang
berperilaku sebagai free rider yaitu masyarakat yang hanya menikmati dan menggunakan
sumberdaya (mangrove) tanpa melakukan pengorbanan. Masyarakat free rider
menyatakan ketidakinginan untuk membayar keberadaan hutan mangrove dikarenakan
ketidakmampuan dalam ekonomi, mereka hanya memanfaatkan hutan mangrove.
6. Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Gampong Kuala Langsa, Aceh
Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai yang terdapat dalam sumberdaya alam,
merupakan penjumlahan dari seluruh nilai guna langsung, nilai guna tak langsung, nilai
pilihan dan nilai keberadaan. Nilai ekonomi total hutan mangrove Gampong Kuala
Langsa, Kota Langsa Aceh adalah sebesar Rp. 2.958.847.000,-
Tabel 4.
Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Gampong Kuala Langsa, Kota Langsa Aceh
No.
Jenis Nilai
Rp Perbulan
%
1.
Nilai Manfaat Langsung
213.710.000,-
7,22
2.
Nilai Manfaat Tidak Langsung
1.014.379.000,-
34,28
Vol. 3, No. 1, Januari 2022
p-ISSN 2798-4125; e-ISSN 2798-4311
16 glosains.greenpublisher.id
3.
Nilai Pilihan
1.729.038.000,-
58,44
4.
Nilai Keberadaan
1.720.000,-
0,06
Jumlah
2.958.847.000,-
100
Sumber : Data Diolah (2021)
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dijelaskan dalam bagan Nilai Ekonomi
Total Hutan Mangrove Gampong Kuala Langsa, Kota Langsa Aceh di bawah ini :
Gambar 1. Nilai Total Ekonomi Hutan Mangrove Kota Langsa, Aceh
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Benu, Timban, Kaunang dan Ahmad
pada hutan mangrove Desa Palaes, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa
Utara nilai ekonomi total adalah sebesar Rp 10.888.218.122,00 per tahun dengan nilai
guna tak langsung sebesar 97,99% atau Rp 10.671.627.482,00 per tahun. Artinya hutan
mangrove Desa Palaes mempunyai manfaat dan fungsi yang penting sebagai sumberdaya
ekonomi maupun sumberdaya ekologi bagi kehidupan masyarakat yang berada di
sekitarnya. Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Sofian, nilai ekonomi total
hutan mangrove di Desa Penunggul, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan adalah
sebesar Rp 5.195.443.820,00 per tahun dengan nilai guna tak langsung sebesar 61,93%
atau Rp 3.217.760.180,00 per tahun. Menunjukkan bahwa hutan mangrove memiliki
intangible benefit (nilai jasa dan lingkungan) yang sangat tinggi sehingga pentingnya
estimasi nilai ekonomi hutan mangrove ke dalam nilai rupiah agar masyarakat dapat
mengetahui bahwa sangat besarnilai ekologis hutan mangrove yang selama ini selalu
diabaikan karena dianggap tidak memiliki nilai pasar. Penelitian yang dilakukan oleh Ria
Indrian Ariftia dkk, diperoleh hasil nilai ekonomi hutan mangrove adalah sebesar Rp
10.530.519.419,00 per tahun yang diperoleh dari (1) nilai guna langsung sebesar Rp
1.877.440.000,00 per tahun, (2) nilai guna tak langsung sebesar Rp 8.915.036.479,00
pertahun, (3) nilai pilihan sebesar Rp 103.425.000,00 per tahun dan (4) nilai keberadaan
Rp 1.580.000,00 per tahun.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai ekonomi total
hutan mangrove Kota Langsa, Aceh adalah Rp. 2.958.847.000,- perbulan. Nilai tersebut
terdiri dari penjumlahan nilai manfaat langsung sebesar Rp 213.710.000,- per bulan, nilai
Analisis Total Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Mangrove
dalam Pengembangan Ecotourism di Kota Langsa Aceh
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Safuridar, Salman dan Iqlima Azhar 17
guna tak langsung sebesar Rp 8.915.036.479,00 per tahun dari penyedia pakan alami bagi
biota laut, nilai pilihan sebesar Rp 103.425.000,00 per tahun dari keanekaragaman hayati
dan nilai keberadaan sebesar Rp 1.580.000,00 per tahun dari kesediaan membayar
masyarakat.
Bibliography
Al Idrus, Agil, Ilhamdi, M. Liwa, Hadiprayitno, Gito, & Mertha, Gde. (2018). Sosialisasi
Peran dan Fungsi Mangrove Pada Masyarakat di Kawasan Gili Sulat Lombok
Timur. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA, 1(1).
Andiny, Puti. (2020). Dampak Pengembangan Ekowisata Hutan Mangrove terhadap
Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Desa Kuala Langsa, Aceh. Jurnal Samudra
Ekonomi Dan Bisnis, 11(1), 4352.
Ariftia, Ria Indrian, Qurniati, Rommy, & Herwanti, Susni. (2014). Nilai ekonomi total
hutan mangrove desa Margasari kecamatan Labuhan Maringgai kabupaten
Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari, 2(3), 1928.
Firmansyah, Rony Bachtiar. (2019). Inovasi kebijakan transportasi publik: studi kasus
program Suroboyo Bus membayar dengan limbah botol plastik. Surabaya: UIN
Sunan Ampel Surabaya.
Fitri, Dwi Rini Kurnia. (2018). Valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan.
PROCEEDING IAIN Batusangkar, 1(1), 125134.
Haryani, Nanik Suryo. (2013). Analisis perubahan hutan mangrove menggunakan citra
landsat. Jurnal Ilmiah Widya, 1(1), 7277.
Husin, Azizah. (2019). Pengetahuan guru terhadap potensi sekolah untuk pendidikan nilai
lingkungan hidup. National Conference on Mathematics Education 2019, 1(1), 234
242.
Langsa, Badan Pusat Statistik Kota. (2018). Kota Langsa Dalam Angka Tahun 2017.
Langsa (ID): BPS.
Lumbessy, Henriyani, Rengkung, Joseph, & Gosal, Pierre H. (2015). Strategi konservasi
ekosistem mangrove Desa Mangega dan Desa Bajo sebagai destinasi ekowisata di
Kabupaten Kepulauan Sula. Spasial, 2(3), 192200.
Maulida, Gita, Supriharyono, Supriharyono, & Suryanti, Suryanti. (2019). Valuasi
Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Di Kelurahan Kandang Panjang Kota
Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Economic Valuation of Mangrove Ecosystem
Utilization in Kandang Panjang Village, Pekalongan City, Central Java Province.
Management of Aquatic Resources Journal (MAQUARES), 8(3), 133138.
Mayudin, Arif. (2013). Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan
tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.
Sahide, Muhammad Alif K. (2013). Hutan desa dan pembangunan sosial ekonomi
masyarakat desa di Kabupaten Bantaeng. Jakarta: Direktorat Bina Perhutanan
Sosial Jakarta.
Suri, Fatimah, & Purwanto, Hadi. (2020). Keragaman Tumbuhan Mangrove di Pesisir
Kabupaten Siak Sebagai Pengendali Abrasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat.
Jurnal Bioterdidik: Wahana Ekspresi Ilmiah, 8(2), 4858.
Utomo, Bekti, Budiastuti, S., & Muryani, C. (2017). Strategi Pengelolaan Hutan
Mangrove Di Desa Tanggul Tlare Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Jurnal
Ilmu Lingkungan, 15(2), 117123.
Wardhani, Maulinna Kusumo. (2011). Kawasan konservasi mangrove: suatu potensi
ekowisata. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology,
4(1), 6076.
Zainuri, Ach Muhib, Takwanto, Anang, & Syarifuddin, Amir. (2017). Konservasi ekologi
Vol. 3, No. 1, Januari 2022
p-ISSN 2798-4125; e-ISSN 2798-4311
18 glosains.greenpublisher.id
hutan mangrove di kecamatan mayangan Kota Probolinggo. Jurnal Dedikasi, 14, 1
7.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-
ShareAlike 4.0 International License.