Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
24 glosains.greenpublisher.id
mereka terutama pada saat kontrak kerja akan berakhir (Afriansyah, n.d.). Dengan terus
memperpanjang kontrak berkali-kali hingga batas perpanjangan kontrak kerja maka para
pekerja akan kehilangan haknya dalam mendapatkan hak status sebagai pekerja tetap,
sehingga pekerja tidak bisa menuntut hak-hak yang dapat diterima sebagai pekerja tetap
jika sewaktu-waktu terkena pemutusan hubungan kerja.
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia telah membawa dampak yang
negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi negara, salah satunya adalah
Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2020 tentang diberlakukannya sistem Pembatasan Sosial Berskala Besar
(selanjutnya disebut PP No.21 Tahun 2020) dibeberapa daerah yang bertujuan untuk
memutus rantai penyebaran Covid-19 (Permadi & Sudirga, 2020).
Meskipun pemerintah Indonesia telah memberlakukan sistem Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) dibeberapa daerah yang bertujuan untuk memutus rantai
penyebaran Covid-19, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut menimbulkan
permasalahan baru terutama bagi pelaku usaha dan kerja. Penerapan kebijakan pemerintah
terkait penanganan pandemi Covid-19 seperti PSBB, work from home, penutupan
sementara usaha di bidang tertentu dan pembatasan jam usaha telah menyebabkan banyak
pelaku usaha yang melakukan efisiensi, salah satunya dengan mengurangi
jumlahpekerjanya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) (Ahidin, 2020).
Untuk mencegah banyaknya pelaku usaha yang melakukan PHK karena terdampak
pandemi Covid-19 maka pemerintah melakukan upaya untuk memberikan perlindungan
terhadap pekerja dan keberlangsungan usaha ditengah pandemi Covid-19 yang tertuang
dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: M3/HK.04/III/2020 tentang
Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Covid-19 (selanjutnya disebut SE Menaker No : M3/HK.04/III/2020),
yang mengatur bahwa pengusaha diperbolehkan melakukan pembatasan kegiatan
perusahaan sehingga pengusaha dapat mengurangi jam kerja (Hatane, Alfons, &
Matitaputty, 2021). Ketentuan ini dimanfaatkan oleh para pengusaha yang tidak hanya
membatasi jam kerja tetapi juga melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan
perusahaan terdampak Covid-19 (Rahayu & Masidin, 2021). Meskipun pemerintah telah
meminta pengusaha untuk tidak melakukan PHK di masa pendemi Covid-19, namun opsi
ini tetap dilakukan oleh para pengusaha. Meski dalam UU Ketenagakerjaan telah
menegaskan bahwa PHK seharusnya menjadi langkah terakhir yang ditempuh sesuai
dengan Pasal 151 ayat 1, yang menyatakan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikatpekerja/buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi PHK (Prameswari & HANDAYANI, 2020).
Para pekerja kontrak dimasa pandemi Covid-19 banyak yang dirumahkan dan
dikurangi jam kerjanya, bahkan diberhentikan dan hanya mendapat pesangon satu kali gaji
ataupun tidak mendapatkan pesangon sama sekali (Putri, 2021). Dalam pelaksanaan PHK
terhadap para pekerja kontrak, perusahaan melakukan pemberhentian secara sepihak tanpa
melakukan perundingan dan memberikan pesangon dalam pelaksanaannya. Hal ini
bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja (Adhistianto, 2020).
Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok permasalahan sebagaimana telah
dikemukakan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis perlindungan
hukum terhadap pekerja yang mengalami PHK dimasa pandemi Covid-19; 2) menganalisis
pengawasan terhadap pekerja yang di PHK di masa pandemi Covid- 19 terkait dengan hak-
hak normatif pekerja. Manfaat dari penelitian ini antara lain secara teoritis penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan disiplin ilmu