Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
22 glosains.greenpublisher.id
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA WAKTU
TERTENTU YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
AKIBAT PANDEMI COVID-19
Wahyu Adi Prasetyo
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Diterima:
3 Januari 2021
Direvisi:
6 Januari 2021
Disetujui:
8 Januari 2021
Abstrak
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2020 tentang diberlakukannya sistem
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertujuan
untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Ketentuan ini
dimanfaatkan oleh para pengusaha yang tidak hanya membatasi
jam kerja tetapi juga melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan alasan perusahaan terdampak Covid-19. Hal ini
membuat pekerja kontrak kehilangan hak-haknya sebagai
pekerja, sedangkan bagi pekerja kontrak yang tidak di PHK
hanya dirumahkan saja, dijanjikan akan dipanggil kembali
setelah wabah Covid-19 berakhir. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis terkait perlindungan hukum terhadap pekerja
paruh waktu tertentu yang mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan
sumber primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil penelitian ini
adalah Pelaksanaan perlindungan hukum kepada pekerja
kontrak yang mengalami PHK telah diatur di dalam PP No. 35
Tahun 2021, yang mana pekerja kontrak memiliki hak atas uang
kompensasi apabila perusahaan melakukan PHK. PP No. 35
Tahun 2021 merupakan peraturan khusus yang dibuat untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan pasal perjanjian kerja waktu
tertentu, alih daya, waktu kerja dan waktu istirahat dan
pemutusan hubungan kerja di dalam UU Cipta Kerja. Dalam hal
ini, yang diutamakan adalah memberikan kepastian hukum
terhadap hak para pekerja kontrak yang di PHK di masa
pandemi Covid-19 sehingga terciptanya keadilan antara pekerja
dan pengusaha.
Kata Kunci: Pandemi Covid-19, Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Pemutusan Hubungan Kerja,
Kompensasi.
Abstract
The Indonesian government has issued Government Regulation
No. 21 of 2020 regarding the implementation of the Large-Scale
Social Restriction (PSBB) system which aims to break the chain
of the spread of COVID-19. This provision is used by
entrepreneurs who not only limit working hours but also
terminate employment on the grounds that the company is
affected by Covid-19. This makes contract workers lose their
rights as workers, while contract workers who are not laid off
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Waktu Tertentu
yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Akibat
Pandemi Covid-19
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Wahyu Adi Prasetyo 23
are only laid off, promised to be called back after the Covid-19
outbreak ends. This study aims to analyze the legal protection
for certain part-time workers who have been laid off due to the
Covid-19 pandemic. This study uses a normative juridical
approach with primary and secondary sources. This study uses
a statutory approach and a conceptual approach. The results of
this study are the implementation of legal protection for contract
workers who have been laid off has been regulated in PP no. 35
of 2021, in which contract workers have the right to
compensation money if the company lays off. PP No. 35 of 2021
is a special regulation made to implement the provisions of the
article on work agreements for a certain time, outsourcing, work
time and rest time, and termination of employment in the Job
Creation Law. In this case, the priority is to provide legal
certainty for the rights of contract workers who were laid off
during the Covid-19 pandemic so as to create justice between
workers and employers.
Keywords: Covid-19 Pandemic, Specific Time Work
Agreement, Termination of Employment, Compensation
Pendahuluan
Kebutuhan tenaga kerja sangat berbanding lurus dengan permintaan pasar akan
produk barang maupun jasa yang dihasilkan. Semakin besar permintaan sebuah produk
barang ataupun jasa akan membutuhkan tenaga kerja yang semakin banyak (Sholeh, 2007).
Tenaga kerja menjadi bagian dari sistem proses produksi yang berarti keuntungan/kerugian
dari sebuah perusahaan juga ditentukan oleh tenaga kerjanya terutama pada perusahaan
yang padat karya. Tumbuh dan berkembangnya suatu perusahaan juga turut membantu
dalam perekonomian negara sehingga peraturan di bidang ketenagakerjaan perlu
mendapatkan perhatian dari pemerintah (Wulansari, 2006).
Keberadaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang mana sering disebut
dengan pekerja kontrak, dinilai sangat menguntungkan (Kurniawati, 2016). Pengusaha
banyak menggunakan/pekerja kontrak karena dianggap memberikan keuntungan tersendiri
terkait dengan pemberian upah dibandingkan dengan pekerja tetap yaitu tingkat upah yang
diberikan lebih rendah dari pekerja tetap. Pengusaha tidak memiliki keharusan untuk
mengeluarkan biaya tambahan seperti pelatihan pekerja, pemberian, pesangon, dan lain
sebagainya (Munir, 2016).
Saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan
bersumber dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja). Hubungan kerja tetap didasari
oleh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) yang mana mensyaratkan adanya
masa percobaan selama tiga bulan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 60
UU Ketenagakerjaan (Whimbo Pitoyo & SH, 2010). Sebaliknya hubungan kerja kontrak
yang didasari oleh PKWT tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan selama 3
(tiga) bulan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 56 dan Pasal 58 UU Ketenagakerjaan.
Bagi para pekerja kontrak sendiri, kebijakan penggunaan tenaga kerja kontrak dinilai
kurang menguntungkan karena disaat kontrak kerja berakhir maka perusahaan memberikan
kontrak kerja baru kepada para pekerja kontrak, sedangkan pekerja kontrak berharap
menjadi pekerja tetap dengan harapan memiliki kepastian kelangsungan jenjang karir
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
24 glosains.greenpublisher.id
mereka terutama pada saat kontrak kerja akan berakhir (Afriansyah, n.d.). Dengan terus
memperpanjang kontrak berkali-kali hingga batas perpanjangan kontrak kerja maka para
pekerja akan kehilangan haknya dalam mendapatkan hak status sebagai pekerja tetap,
sehingga pekerja tidak bisa menuntut hak-hak yang dapat diterima sebagai pekerja tetap
jika sewaktu-waktu terkena pemutusan hubungan kerja.
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia telah membawa dampak yang
negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi negara, salah satunya adalah
Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2020 tentang diberlakukannya sistem Pembatasan Sosial Berskala Besar
(selanjutnya disebut PP No.21 Tahun 2020) dibeberapa daerah yang bertujuan untuk
memutus rantai penyebaran Covid-19 (Permadi & Sudirga, 2020).
Meskipun pemerintah Indonesia telah memberlakukan sistem Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) dibeberapa daerah yang bertujuan untuk memutus rantai
penyebaran Covid-19, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut menimbulkan
permasalahan baru terutama bagi pelaku usaha dan kerja. Penerapan kebijakan pemerintah
terkait penanganan pandemi Covid-19 seperti PSBB, work from home, penutupan
sementara usaha di bidang tertentu dan pembatasan jam usaha telah menyebabkan banyak
pelaku usaha yang melakukan efisiensi, salah satunya dengan mengurangi
jumlahpekerjanya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) (Ahidin, 2020).
Untuk mencegah banyaknya pelaku usaha yang melakukan PHK karena terdampak
pandemi Covid-19 maka pemerintah melakukan upaya untuk memberikan perlindungan
terhadap pekerja dan keberlangsungan usaha ditengah pandemi Covid-19 yang tertuang
dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: M3/HK.04/III/2020 tentang
Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Covid-19 (selanjutnya disebut SE Menaker No : M3/HK.04/III/2020),
yang mengatur bahwa pengusaha diperbolehkan melakukan pembatasan kegiatan
perusahaan sehingga pengusaha dapat mengurangi jam kerja (Hatane, Alfons, &
Matitaputty, 2021). Ketentuan ini dimanfaatkan oleh para pengusaha yang tidak hanya
membatasi jam kerja tetapi juga melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan
perusahaan terdampak Covid-19 (Rahayu & Masidin, 2021). Meskipun pemerintah telah
meminta pengusaha untuk tidak melakukan PHK di masa pendemi Covid-19, namun opsi
ini tetap dilakukan oleh para pengusaha. Meski dalam UU Ketenagakerjaan telah
menegaskan bahwa PHK seharusnya menjadi langkah terakhir yang ditempuh sesuai
dengan Pasal 151 ayat 1, yang menyatakan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikatpekerja/buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi PHK (Prameswari & HANDAYANI, 2020).
Para pekerja kontrak dimasa pandemi Covid-19 banyak yang dirumahkan dan
dikurangi jam kerjanya, bahkan diberhentikan dan hanya mendapat pesangon satu kali gaji
ataupun tidak mendapatkan pesangon sama sekali (Putri, 2021). Dalam pelaksanaan PHK
terhadap para pekerja kontrak, perusahaan melakukan pemberhentian secara sepihak tanpa
melakukan perundingan dan memberikan pesangon dalam pelaksanaannya. Hal ini
bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja (Adhistianto, 2020).
Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok permasalahan sebagaimana telah
dikemukakan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis perlindungan
hukum terhadap pekerja yang mengalami PHK dimasa pandemi Covid-19; 2) menganalisis
pengawasan terhadap pekerja yang di PHK di masa pandemi Covid- 19 terkait dengan hak-
hak normatif pekerja. Manfaat dari penelitian ini antara lain secara teoritis penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan disiplin ilmu
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Waktu Tertentu
yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Akibat
Pandemi Covid-19
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Wahyu Adi Prasetyo 25
hukum, khususnya tentang perlindungan terhadap pekerja terkait dengan masalah
pelanggaran pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam UU Ketenegakerjaan dan UU
Cipta Kerja. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan literatur bagi akademisi. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi masyarakat dalam memahami dan mengetahui mengenai perlindungan
hukum terkait pemutusan hubungan kerja dan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap para pekerja terkait dengan
PHK dimasa pandemi Covid-19.
Berkaitan dengan orisinalitas penelitian ini, maka telah dilakukan kajian terhadap
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Kartikasari, 2021), dengan judul “Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Dan Pengusaha Terhadap Masalah Ketenagakerjaan Di Masa
Pandemi Covid-19”. Persamaan dengan penelitian ini adalah mengenai masalah
ketenagakerjaan di masa pandemi Covid-19. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini
adalah dalam penelitian tersebut membahas mengenai perselisihan ketenagakerjaan
melalui mediasi di masa pandemi Covid-19. Sedangkan dalam penelitian ini membahas
mengenai perlindungan hukum pekerja waktu tertentu yang mengalami PHK di masa
pandemi Covid-19.
Penelitian berikutnya yaitu dari (Fadilah & Nugroho, 2021), dengan judul
“Pemutusan Hubungan Kerja Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia Ditinjau Dari
Perspektif Hukum Ketenagakerjaan”. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama
membahas tentang pemutusan hubungan kerja di masa pandemi Covid-19. Sedangkan
perbedaan dengan penelitian ini adalah dalam penelitian tersebut membahas masalah
pemutusan hubungan kerja dalam perspektif ketenagakerjaan. Sedangkan dalam penelitian
ini membahas mengenai hak-hak para pekerja waktu tertentu yang mengalami PHK di masa
pandemi Covid-19.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode yuridis
normatif mengingat pembahasan didasarkan pada perundang-undangan dan prinsip dan
teori hukum berlaku. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dilakukan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan konsep (conceptual
approach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan terhadap hukum dengan
menggunakan metode normatif dilakukan dengan cara mengidentifikasikan dan
mengonsepsikan hukum sebagai norma kaidah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada kekuasaan negara tertentu yang berdaulat.
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Undang- undang No. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan, Undang-undang
No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021
Tentang Pengupahan, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja, dan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor
M/3/HK.04/III/2020 Tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam
Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Bahan hukum sekunder terdiri dari
buku-buku ketenagakerjaan, tesis yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, dan bahan-
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
26 glosains.greenpublisher.id
bahan acuan lain yang relevan dengan permasalahan yang di teliti baik dalam bentuk buku
(hard file) maupun internet (soft file).
Setelah mengidentifikasikan bahan hukum yang terkumpul, kemudian
dideskripsikan dan disistematisasikan dengan mendasarkan pada teori keilmuan hukum dan
konsep-konsep ilmu hukum, prinsip-prinsip atau asas-asas hukum. Selanjutnya, analisis
bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis yuridis, yaitu
analisis yang mendasarkan atau tertumpu pada penalaran hukum (legal reasoning),
interprestasi hukum (legal intepretation), dan argumentasi hukum (legal argumentation).
Hasil dan Pembahasan
A. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Yang Mengalami PHK Di Masa
Pandemi Covid-19
Pada masa pandemi Covid-19 perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh sangat
penting diperlukan, mengingat bahwa keadaan ini merupakan keadaan diluar keadaan yang
normal yang dapat membawa dampak terhadap pekerja maupun pengusaha bahkan juga
pemerintah. Pandemi Covid -19 berdampak pada kelangsungan dunia usaha yang berujung
pada terganggunya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan. Kondisi ini
mengakibatkan sebagian perusahaan mengalami penurunan pendapatan, kerugian hingga
pada penutupan usaha. Akibat pandemi ini tidak hanya berdampak pada kelangsungan
pekerja tetapi juga berdampak pada kelangsungan pengusaha.
Dampak yang dirasakan oleh pengusaha yaitu pengusaha tentu mengalami kondisi
kesulitan keuangan sehingga pengusaha terpaksa harus menghentikan atau mengurangi
kegiatan usahanya. Hal ini membuat pengusaha harus meliburkan pekerjanya atau
merumahkan pekerjannya secara bergilir hingga berujung pada PHK, yang menjadi alasan
efisiensi sebagai upaya terakhir setelah perusahaan menempuh kebijakan
mengurangi/memotong upah, mengurangi fasilitas, menerapkan kerja shift, kerja lembur,
mengurangi jam kerja dan hari kerja hingga meliburkan pekerja.
Penerapan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam masa pandemi covid 19,
diimplementasikan dalam berbagai kebijakan sebagai bentuk dari perlindungan terhadap
pekerja/buruh yakni diterbitkannya SE Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan
pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
covid 19. Dalam SE Menaker ini, Gubernur diminta untuk melaksanakan perlindungan
pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi Covid-19 serta mengupayakan
pencegahan, penyebaran dan penanganan kasus terkait Covid-19 di lingkungan kerja, yakni
sebagai berikut :
a. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai orang dalam pemantauan (ODP)
covid-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling
lama 14 hari, atau sesuai standar kementrian kesehatan, maka upahnya dibayarkan
secara penuh.
b. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek Covid-19 dan
dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter maka upahnya dibayarkan secara
penuh selama menjalani masa karantina sosial.
c. Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit covid 19, dan dibuktikan
dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
d. Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan akibat kebijakan
pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan covid-
19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk
kerja dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Waktu Tertentu
yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Akibat
Pandemi Covid-19
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Wahyu Adi Prasetyo 27
maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja buruh.
Surat edaran ini diterbitkan agar melindungi pekerja/buruh dan kelangsungan
usaha, sehingga pekerja/buruh terhindar dari pemutusan hubungan kerja dan bagi
perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah, yang
menyebabkan sebagian atau seluruhnya pekerja/buruh tidak masuk kerja dengan
mempertimbangkan kelangsungan usaha perubahan besaran dan cara pembayaran upah
dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Dalam hal PHK yang
dikarenakan dampak Covid-19, membawa pengaruh tersendiri bagi pemerintah karena
akan bertambahnya jumlah pengangguran yang dapat menimbulkan keresahan sosial, dan
bagi pekerja sendiri pandemi Covid-19 ini dapat menyebabkan berkurangnya atau
terhentinya sumber nafkah pekerja/buruh, karena mengalami PHK. Bagi pekerja/buruh
PHK merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dan berakhirnya
mempunyai pekerjaan, permulaan dan berakhirnya kemampuan membiayai keperluan
hidup sehari-hari dan keluarganya, permulaan dan berakhirnya kemampuan
menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.
Oleh sebab itu, perlindungan hukum terhadap pekerja sangat diperlukan, baik itu
dari pengusaha maupun dari pemerintah agar pekerja/buruh dapat menikmati semua hak-
hak yang diberikan oleh hukum. Terkait perlindungan hukum, Maria Theresia Geme
mengatakan “bahwa berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan
memberlakukan hukum negara secara eksklusif dengan tujuan untuk memberikan jaminan
kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang lain” UU Ketenagakerjaan dan UU
Cipta Kerja sebagai produk hukum ketenagakerjaan memberikan perlindungan terhadap
para tenaga kerja dalam menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpaadanya diskriminiasi dalam bentuk apapun demi
kesejahteraan pekerja/buruh dankeluarganya.
Pasal 164 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun atau keadaan memaksa
(force majeur). Dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja Karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Terlepas dari hal tersebut kewajiban pemerintah terhadap para pekerja yang
mengalami PHK akibat pandemi Covid-19 harus tetap diwujudkan, bentuk perlindungan-
perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap para pekerja telah diatur di
dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.
Didasarkan pasal 15 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021, pekerja kontrak memiliki hak
atas uang kompensasi apabila mengalami PHK. Uang kompensasi merupakan hak pekerja
kontrak yang terkena PHK berupa uang yang diberikan perusahaan kepada karyawannya
karena melakukan PHK. Dalam Pasal 16 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021 menjelaskan
bahwa pemberian uang kompensasi berbeda, didasarkan pada lama waktu kerja karyawan,
dan apabila PHK dilakukan sebelum selesainya masa PKWT yang disepakati bersama
maka uang kompensasi dihitung sampai dengan saat selesainya pekerjaan, dan apabila
perusahaan melanggar ketentuan yang diatur didalam pemberian kompensasi maka
perusahaan dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai yang diatur di dalam Pasal 61-61
PP No. 35 Tahun 2021.
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
28 glosains.greenpublisher.id
Menurut John Rawls sesuai dengan teori keadilannya, dengan dikeluarkannya PP
No.35 Tahun 2021 untuk melindungi hak-hak pekerja kontrak dan pegusaha dimasa
pandemi Covid-19 maka akan dapat menciptakan suatu keadilan. Dengan sudah terciptanya
sebuah keadilan antara pekerja dengan pengusaha maka saat itu juga timbul sebuah
kepastian hukum, karena kepastian hukum yang utama ialah menggunakan landasan
peraturan perundang-undangan guna tercapainya ketertiban dan keteraturan untuk
menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu keadilan
sangat dibutuhkan peraturan hukum yang sifatnya tertulis (formal) dan berbagai lembaga
pendukungnya.
Selain itu bentuk perlindungan hukum dari pemerintah terhadap pekerja di masa
pandemi Covid-19, yaitu dikeluarkanya berbagai produk hukum antara lain, SE, Nomor
M/11/HK.04/X/2020, tentang penetapan upah minimum Tahun 2021 pada masa Pandemi
corona virus disease, SE. Nomor M/7/AS.02.02/U/2020 tentang rencana keberlangsungan
usaha dalam menghadapi covid dan protokol pencegahan penularan Covid-19 di
perusahaan, SE Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan
kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Selain itu
pemerintah juga memberikan bantuan langsung tunai serta berbagai program kebijakan
lainya seperti program kartu prakerja dan program karya tunai untuk memberikan
pengahasilan sementara bagi pekerja yang kehilangan pendapatan dari berbagai
pembatasan sosial di tengah pandemi Covid-19.
Pengawasan terhadap pekerja yang di PHK di masa pandemi covid-19 terkait
dengan hak-hak normatif pekerja. Pekerja waktu tertentu dipekerjakan oleh perusahaan
untuk masa waktu tertentu saja. Hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja waktu
tertentu dituangkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Sesuai ketentuan UU
Ketenagakerjaan Pasal 62 dinyatakan bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam pekerjaan waktu tertentu,
atau berakhirnya berakhirnya hubungan kerja bukan karena terjadinya pelanggaran
terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah tenaga
kerja sampai batas jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja.
B. Pengawasan Terhadap Pekerja Yang Di PHK Di Masa Pandemi Covid-19 Terkait
Dengan Hak-Hak Normatif Pekerja
Pada masa pandemi Covid-19 banyak pekerja kontrak dirumahkan dan dikurangi
jam kerjanya hingga di PHK. Dalam pelaksanaan PHK terhadap para pekerja kontrak,
terdapat beberapa aturan dalam mekanisme pelaksanaan PHK yang ditur dalam UU
Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Pada Pasal 151 ayat 2-3 UU Ketenagakerjaan
dijelaskan bahwa:
(Ayat 2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(Ayat 3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar- benar
tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Selain itu di jelaskan pula didalam Pasal 151 UU Ciptaker menjelaskan bahwa: (Ayat
1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus
mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Waktu Tertentu
yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Akibat
Pandemi Covid-19
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Wahyu Adi Prasetyo 29
(Ayat 2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan
alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(Ayat 3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan
hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui
perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja
serikat buruh. (Ayat 4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap
berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Terkait pelaksanaan PHK yang dilakukan perusahaan sebagai efisiensi dalam
menghadapi pandemi Covid-19, peraturan perundang-undangan mengatur hak-hak para
pekerja kontrak terkait dalam ketentuan PHK. Hal ini merujuk pada Pasal 17 PP No. 35
Tahun 2021 yang menjelaskan bahwa “Dalam hal salah satu pihak mengakhiri Hubungan
Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, Pengusaha wajib
memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang
besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh
Pekerja/Buruh”.
Kewajiban pengusaha memberikan uang kompensasi bagi pekerja kontrak yang di
PHK. Kompensasi PKWT diberikan kepada pekerja kontrak yang telah menjalani masa
kerja paling sedikit 1 bulan secara terus-menerus. Bila PKWT diperpanjang, kompensasi
diberikan saat selesainya jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan PKWT. Uang
kompensasi berikutnya diberikan setelah perpanjangan jangka waktu PKWT berakhir atau
selesai. Pasal 16 PP No.35 Tahun 2020 mengatur besaran kompensasi PKWT. Untuk
PKWT selama 12 bulan secara terus menerus, kompensasi diberikan sebesar 1 bulan upah;
PKWT selama 1 bulan atau lebih, tapi kurang dari 12 bulan dihitung proporsional dengan
perhitungan masa kerja dikali satu bulan upah dibagi 12. Begitu pula dengan PKWT lebih
dari 12 bulan dihitung proporsional dengan menghitung masa kerja dikali satu bulan upah
dibagi 12.
Pelaksanaan PHK terhadap para pekerja dapat dilakukan apabila perusahaan
mengalami kerugian sehingga perusahaan melakukan efisiensi yang diikuti dengan
penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan
kerugian terus menerus, dan adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan pelanggaran ketenagakerjaan
terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja dan Pengusaha memutuskan untuk
melakukan PHK.
Selain itu pengawasan ketenagakerjaan terhadap penerapan ketentuan pelaksanaan
PHK terhadap pekerja kontrak berdasarkan Pasal 60 PP No. 35 Tahun 2021 dilaksanakan
oleh pengawas ketenagakerjaan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang ketenagakerjaan provinsi, hal ini dilakukan oleh Dinas
Ketenagakerjaan setempat.
Akan tetapi dalam mekanisme pelaksanaan PHK, apabila pekerja kontrak yang telah
mendapatkan surat PHK dan menyatakan menolak, maka pekerja kontrak dapat membuat
surat penolakan disertai alasan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat
pemberitahuan, sesuai ketentuan Pasal 39 PP No.35 Tahun 2021. Dalam hal terjadi
perbedaan pendapat mengenai PHK, penyelesaian PHK harus dilakukan melalui
perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja maupun melalui serikat pekerja.
Dalam hal perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan anatara pekerja dan
pengusaha, penyelesaian PHK tahap berikutnya dilakukan melalui mekanisme
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
30 glosains.greenpublisher.id
penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui
pengadilan hubungan industrial atau di luar pengadilan hubungan industrial. Upaya dalam
rangka menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan sebelum dilakukan
perundingan secara mediasi oleh Disnaker, perlu dilakukan upaya penyelesaian
perselisihan melalui perundingan secara bipartit.
Perundingan bipatrit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat buruh
dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian
bipartit dilakukan agar perselisihan dapat dilaksanakan secara kekeluargaan, yang
diharapkan masing-masing pihak tidak merasa ada yang dikalahkan atau dimenangkan,
karena penyelesaian bipartit bersifat mengikat. Permenaker Nomor
PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Melalui Perundingan Bipartit memberikan waktu paling lama 30 hari untuk penyelesaian
melalu bipartit. Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian
Bersama.
Akan tetapi apabila para pihak gagal/tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan
bipartit, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya- upaya penyelesaian
melalui perundingan bipartit telah dilakukan dan para pihak dapat menempuh penyelesaian
perselisihan diluar pengadilan yang telah disediakan oleh pemerintah dalam upayanya
untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan
pengusaha.
Menurut Pasal 1 angka (11) UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam UU
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan bahwa mediator merupakan
pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan.
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa Pelaksanaan perlindungan hukum
kepada pekerja kontrak yang mengalami PHK telah diatur di dalam PP No. 35 Tahun 2021,
yang mana pekerja kontrak memiliki hak atas uang kompensasi apabila perusahaan
melakukan PHK. PP No. 35 Tahun 2021 merupakan peraturan khusus yang dibuat untuk
melaksanakan ketentuan- ketentuan pasal perjanjian kerja waktu tertentu, alih daya, waktu
kerja dan waktu istirahat, dan pemutusan hubungan kerja di dalam UU Cipta Kerja. Dalam
hal ini, yang diutamakan adalah memberikan kepastian hukum terhadap hak para pekerja
kontrak yang di PHK di masa pandemi Covid-19 sehingga terciptanya keadilan antara
pekerja dan pengusaha.
Pelaksanaan PHK terhadap pekerja kontrak di masa pandemi Covid-19 melahirkan
perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, dalam hal ini dalam peraturan perundang-
undangan telah diatur mengenai pengawasan terkait pelaksanaan PHK, yang dilakukan
oleh instansi terkait ketenagakerjaan yakni Disnakertrans, sehingga para pekerja kontrak
dapat mendapatkan hak kompensasi dari pengusaha.
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
Wahyu Adi Prasetyo 31
Dalam proses mekanisme penuntutan hak kompensasi PHK di awal para pekerja
kontrak dapat melakukan perundingan bipartite melalui mediator yang disediakan oleh
Disnakertrans, namun apabila para pihak gagal dalam mencapai kesepakatan, maka para
pekerja kontrak dapat mencatatkan perselisihannya di Disnakertrans.
Bibliography
Adhistianto, Mohammad Fandrian. (2020). Politik Hukum Pembentukan Rancangan
Undang-Undang Cipta Kerja (Studi Klaster Ketenagakerjaan). Pamulang Law
Review, 3(1), 110.
Afriansyah, Anggi. (N.D.). Potret Kesejahteraan Dan Strategi Bertahan Hidup Pekerja
Kontrak Dan Alih Daya Sektor Industri Teknologi Informasi Dan Komunikasi.
Ahidin, Udin. (2020). Covid 19 Dan Work From Home. Desanta Muliavisitama.
Fadilah, Khalda, & Nugroho, Andriyanto Adhi. (2021). Pemutusan Hubungan Kerja Pada
Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hukum
Ketenagakerjaan. Justitia: Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 8(1), 334350.
Hatane, Karina, Alfons, Saartje Sarah, & Matitaputty, Merlien Irene. (2021). Perlindungan
Hukum Terhadap Pekerja Di Masa Pandemi Covid-19. Tatohi: Jurnal Ilmu Hukum,
1(3), 265275.
Kartikasari, Erny. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Dan Pengusaha Terhadap
Masalah Ketenagakerjaan Di Masa Pandemi Covid-19. Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya.
Kurniawati, Yuni. (2016). Analisis Yuridis Perjanjian Kerja Antara Pekerja Dengan Pt
Atlas Spa Club Terkait Dengan Status Pekerja. Novum: Jurnal Hukum, 3(4), 1018.
Munir, Abdul. (2016). Kapitalisme Dan Regulasi Ketenagakerjaan; Sebuah Manifesto Bagi
Perjuangan Kaum Buruh. Sisi Lain Realita, 1(1), 812.
Permadi, Putu Lantika, & Sudirga, I.Made. (2020). Problematika Penerapan Sistem
Karantina Wilayah Dan Psbb Dalam Penanggulangan Covid-19. Jurnal Kertha
Semaya, 8(9), 13551365.
Prameswari, Karina, & Handayani, E. M. I.Puasa. (2020). Pengaturan Pemutusan
Hubungan Kerja Antara Karyawan Dengan Perusahaan. Mizan: Jurnal Ilmu Hukum,
7(1), 99112.
Putri, Fitri Imaniyah. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Di Putus Hubungan
Kerja Di Masa Pandemi Covid-19. Universitas Wiraraja.
Rahayu, Khanti, & Masidin, Masidin. (2021). Tinjauan Yuridis Pemutusan Hubungan
Kerja Pada Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar Akibat Covid-19. National
Journal Of Law, 4(1), 198381.
Sholeh, Maimun. (2007). Permintaan Dan Penawaran Tenaga Kerja Serta Upah: Teori
Serta Beberapa Potretnya Di Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Pendidikan, 4(1).
Whimbo Pitoyo, S. E., & Sh, M. B. A. (2010). Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan.
Visimedia.
Wulansari, Catharina Dewi. (2006). Dimensi Baru Peran Pemerintah Dalam Mengatasi
Masalah Ketenagakerjaan Melalui Pembangunan Hukum Di Indonesia. Jurnal
Hukum Pro Justitia, 24(3).
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
32 glosains.greenpublisher.id
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-
ShareAlike 4.0 International License.