Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
9 glosains.greenpublisher.id
lahan lokasi tempat usaha. Tergugat nyata telah mengurangi, memperkecil, dan
mempergunakan fasilitas salon, berupa sarana prasarana ruangan perawatan kecantikan,
area parkir dan lain-lain untuk kepentingan lain.
Kemudian tergugat (franchise) membatalkan kontrak secara sepihak yang
menyebabkan wanprestasi perjanjian yang tidak seimbang. bahwa ternyata franchisor tidak
mempunyai proforma keuangan sama sekali namun tetap membujuk penggugat rekovensi
untuk menandatangani perjanjian dengan menjanjikan pahwa pihak franchise akan
memperoleh keuntungan. Franchise menyatakan bahwa setelah perjanjian berjalan,
franchisor terus menerus menikmati dan mengambil keuntungan dari franchise, tanpa
memikul tanggung jawab apapun juga.
Semua pegawai yang bekerja di salon tersebut dibayar dan digaji oleh franchisor,
tetapi franchisee sama sekali tidak diberi wewenang untuk melakukan perekrutan pegawai
dan tidak diberi wewenang campur tangan dalam hal manajemen. Selain itu pihak
franchisee juga harus membeli peralatan seperti meja rias dll milik franchisor, namun
anehnya, dalam perjanjian Waralaba Sari diatur bahwa karena design meja meja rias tetap
menjadi milik franchisor, maka meja meja riastetap menjadi milik franchisor, sehingga
apabila perjanjian berakhir, maka franchisee harus mengembalikan meja meja tersebut
kepada franchisor. Franchisor setiap bulan menerima 10% dari penghasilan kotor dari
pemasukan yang diperoleh dari pelanggan, tanpa mempedulikan apakah pemasukan
bulanan cukup atau tidak untuk membayar dan menutupi biaya operasional salon dan spa.
Contoh kedua sengketa yang didasarkan pada asas proporsionalitas pada perjanjian
waralaba putusan franchisor dan perbuatan melawan hukum. Putusan ini berakhir di
pengadilan tingkat 1 dengan amar putusan mengabulkan eksepsi tergugat I dan tergugat II
menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwewenang mengadili perkara ini, serta
menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara.
Perkara kedua ini banyak sekali terjadi ketidak seimbangan pada proses pra
kontrak, dan tahapan pelaksanaan kontrak dikarenakan penggunaan kontrak standar yang
tidak menerapkan asas proporsionalitas. Menurut keterangan penggugat adalah Bahwa
sebelumnya, Para Tergugat telah menyiapkan draft Perjanjian Waralaba (Franchise) secara
sepihak tanpa mendiskusikan dan menjelaskan maksud-maksud dan pengertian dari tiap
klausula yang ada dalam Perjanjian Waralaba tersebut kepada Para Penggugat. Para
Tergugat juga tidak pernah menunjukkan bukti-bukti formal dari identitas diri Para
Tergugat dan izin-izin, kepemilikan hak-hak yang terkait dengan usaha waralaba dari
tergugat. Pada point ini, menurut saya hal ini sangat sangat merugikan pihak franchisee.
Pihak ekonomi kuat selalu berperan sebagai pihak yang lebih diuntungakan.
Ketidakberdayaan pihak yang lemah semakin membuat posisi pihak ekonomi kuat
berkesempatan untuk memperlakukan pihak lemah dengan semena mena.
Selain itu sejak saat akta perjanjian waralaba tersebut dibuat dan di tandatangani
oleh pihak franchisor dan franchisee, pihak franchisor tidak bisa menunjukan asli atau
Salinan dari dokumen-dokumen milik tergugat I (franchisor). Serta dokumen dokumen lain
yang berkaitan dengan perjanjian waralaba, termasuk hak merk, hak cipta, hak paten, dan
Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari Kantor Pelayanan Pajak, atas nama
PT Kartika Ayoe. Dan setelah di lakukan pengecekan oleh tim penggugat (franchisee),
bahwa ternyata Kementrian Hukum dan Ham belum pernah menerbitkan Sertifikat Hak
Merek, Sertifikat Hak Cipta dan Sertifikat Hak Paten “Elty Clinic” atas nama dr. Henny
Kartika Sari (tergugat II) atau PT Kartika Ayoe (Tergugat I). Kantor Pelayanan Pajak
Tanjung Karang, Bandar Lampung juga tidak pernah mengeluarkan Surat Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas Nama PT Kartika Ayoe (franchisor).
Kedua putusan yang telah di jabarkan di atas mempunyai kesamaan yaitu
terabaikan nya asas proporsionalitas dalam pembuatan kontrak baku bisnis waralaba.