Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
1 glosains.greenpublisher.id
ASAS PROPORSIONALITAS KONTRAK STANDAR PADA
PERJANJIAN WARALABA
Rachdinda Pradigda Al-Qarano
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Diterima:
2 Januari 2021
Direvisi:
5 Januari 2021
Disetujui:
8 Januari 2021
Abstrak
Perjanjian bisnis sering ditemukan permasalahan tentang
keseimbangan antara para pihak yang melakukan kerjasama
bisnis, terutama pada perjanjian yang menggunakan kontrak
standart atau kontrak baku. Dalam penelitian ini yang dibahas
adalah perjanjian waralaba. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis asas proporsionalitas kontrak standar pada
perjanjian waralaba. Jenis penelitian ini merupakan yuridis
normative dengan menggunakan pendekatan masalah berupa
pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan
kasus (case approach). Dalam penelitian ini bahan hukum yang
penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Hasil penelitian ini adalah asas proporsionalitas
berfungsi untuk membentuk suatu sistem yang memberikan
check and balance, untuk mendorong terciptanya hubungan
hukum dalam kontrak yang proporsional. Lalu akibat hukum
dari terabaikannya asas proporsionalitas adalah terkikisnya asas
kebebasan berkontrak namun pasal 1337, 1338 ayat (3), dan
1339 KUHPerdata dapat digunakan sebagai pembatas atau tolok
ukur, apakah suatu perjanjian waralaba yang menggunakan
kontrak baku terdapat klausul yang memberatkan salah satu
pihak atau tidak.
Kata Kunci: Asas Proporsionalitas, Perjanjian, Waralaba
Abstract
In business agreements, problems are often found regarding the
balance between the parties conducting business cooperation,
especially in agreements that use standard contracts or
standard contracts. In this study, what is discussed is a franchise
agreement. This study aims to analyze the principle of standard
contract proportionality in franchise agreements. This type of
research is normative juridical using a problem approach in the
form of a statute approach, a conceptual approach, and a case
approach. In this study the legal materials that the author uses
are primary legal materials and secondary legal materials. The
result of this research is that the principle of proportionality
functions to form a system that provides checks and balances, to
encourage the creation of legal relationships in proportional
contracts. Then the legal consequence of neglecting the
principle of proportionality is the erosion of the principle of
freedom of contract but articles 1337, 1338 paragraph (3), and
1339 of the Civil Code can be used as a barrier or benchmark,
Asas Proporsionalitas Kontrak Standar Pada Perjanjian
Waralaba
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Rachdinda Pradigda Al-Qarano 2
whether a franchise agreement that uses a standard contract has
a clause that incriminates one party or not.
Keywords: Principle of Proportionality, Agreement, Franchise
Pendahuluan
Perkembangan dunia ekonomi begitu pesat, hal ini juga didukung oleh variasi
pengusaha dalam mengembangkan bisnisnya. Banyak sekali metode atau cara yang dapat
digunakan pebisnis untuk memperluas jaringan usahanya, salah satunya melalui waralaba
(Widodo, 2016). Franchise atau waralaba merupakan kerjasama bisnis dan secara teknis
dapat dipahami sebagai suatu metode perluasan pasar yang digunakan oleh sebuah
perusahaan (Karamoy, 2013). Metode ini dianggap sukses dan berkehendak meluaskan
distribusi barang atau jasa melalui unit-unit bisnis eceran yang dijalankan oleh pengusaha-
pengusaha independen dengan menggunakan merek dagang atau merek jasa, teknik
pemasaran dan berada di bawah pengawasan dari perusahaan yang hendak meluasakan
pasaranya dengan imbalan pembayaran fees dan royalties (Waskita, 2018).
Semakin berkembangnya bisnis waralaba di Indonesia maka lahirlah ketentuan
ketentuan yang mendukung kepastian hukum dalam format hukum waralaba. Ketentuan
ketetentuan tersebut adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
259/MPP/KEP/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pendaftaran
Usaha Waralaba, Undangundang No. 14 tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang no.
15 tahun 2001 tentang merek, Undang-undang no. 30 tahun 2000 tentang rahasia dagang,
dan Peraturan Pemerintah no 42 tahun 2007 sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah
no. 16 tahun 1997 tentang waralaba yang sudah dicabut (Felicia, 2010).
Hubungan bisnis dalam praktiknya selalu didasarkan pada suatu perjanjian (Anshori,
2018). Perjanjian merupakan suatu bentuk kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk
saling mengikatkan diri dalam bentuk tertulis, dalam praktik kehidupan sehari-hari sangat
sering disebut dengan istilah perjanjian, walaupun hanya dibuat secara lisan atau tidak
tertulis (Priyono, 2018). Berbeda pula dalam dunia bisnis, perjanjian merupakan hal yang
sangat penting, karena menyangkut masa depan bisnis itu sendiri. Mengingat akan hal
tersebut, menurut hukum suatu perjanjian merupakan suatu bentuk manifestasi yang
adanya kepastian hukum, oleh karena itu dalam praktiknya setiap perjanjian dibuat secara
tertulis agar diperoleh suatu kekuatan kepastian hukum, sehingga tujuan kepastian hukum
dapat terwujud (Handriani, 2020).
Perjanjian waralaba ada yang dilakukan menggunakan kontrak yang di negosiasikan,
namun berkembangnya dunia bisnis juga menuntut para pengusaha untuk dapat melakukan
kontrak bisnis secara lebih efisien yaitu dengan menggunakan kontrak baku/kontrak
standar (Susiana, 2015). Didalam kontrak baku itu dimuat mengenai kepentingan
kepentingan mereka dalam menjalankan usahanya. Terkadang kepentingan kepentingan itu
dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak lain yang akan terlibat dalam kontrak
itu nantinya.
Disisi lain kontrak baku diciptakan oleh para pedagang juga untuk memperoleh suatu
kemudahan dalam transaksi yang akan mereka lakukan dengan pihak lain (SARI, Utama,
& Syahmin AK, 2013). Jika dilihat dari aspek banyaknya waktu, tenaga dan biaya yang
dapat dihemat, tetapi disisi lain, kontrak baku menempatkan pihak yang tidak ikut membuat
klausul-klausul dalam kontrak menjadi pihak yang langsung atau tidak langsung dirugikan,
yakni disuatu sisi sebagai pihak dalam kontrak itu memiliki hak untuk memperoleh
kedudukan yang seimbang dalam menjalankan kontrak tersebut, disisi yang lain harus
menerima isi kontrak yang ditawarkan kepadanya.
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
3 glosains.greenpublisher.id
Pemberi waralaba mempunyai peluang diuntungkan, dimana pemberi waralaba
mempunyai kedudukan yang kuat dalam menentukan perjanjian yang dibuatnya dengan
menentukan syarat-syarat yang cukup memberatkan Penerima Waralaba (Santosa, 2018),
sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian ini tidak seimbang. Pada umumnya salah
satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang sudah di standarkan pada suatu format perjanjian
yang telah dicetak dalam bentuk formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya
untuk disetujui.
Penelitian ini penulis juga akan menganalisis sebuah putusan kasasi nomor 995
K/Pdt/2015 dan Nomor 83/Pdt.G/2018/PN Tjk, dimana terdapat pihak pihak yang ber
sengketa dalam perkara perdata perjanjian warlaba yang di dasarkan pada asas
proporsionalitas serta menganalisis ratio decidendi hakim dalam memutus perkara
tersebut.
Banyak pandangan mengenai digunakannya kontrak baku dalam dunia bisnis.
Sebagian berpendapat bahwa kontrak baku merupakan “penghematan waktu”, dan
Sebagian berpendapat bahwa kontrak baku merupakan “perjanjian paksa” (dwang
contract). Sehingga dalam hal ini penerima franchise menempati kedudukan yang tertekan
dan hanya dapat bersikap “take it or leave it”.
Sebelumnya, terdapat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yakni
yang ditulis oleh (Simbolon, Priyono, & Hendrawati, 2016) dengan judul Penerapan Asas
Proporsionalitas Dalam Perjanjian Waralaba Masaji Fried Chicken. Hasil dari penelitian
hukum ini adalah mengenai penerapan asas proposionalitas dan akibat hukum jika terdapat
pasal-pasal yang tidak memenuhi asas proposionalitas. Meskipun beberapa pasal dalam
klausul ini belum menerapkan asas proporsionalitas namun perjanjian tersebut tidak
menyimpang dari Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga perjanjian waralaba Masaji Fried
Chicken merupakan perjanjian yang sah bagi para pihak. Perbedaan dengan penelitian ini
ialah dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk menganalisis asas proporsionalitas
kontrak standar pada perjanjian waralaba.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan yuridis normative dengan menggunakan pendekatan
masalah berupa pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam
penelitian ini bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-
undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan
hakim. Selain bahan hukum primer, penulis juga menggunakan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai
prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang
mempunyai kualifikasi tinggi.
Hasil dan Pembahasan
A. Pemenuhan Asas Proporsionalitas Pada Kontrak Baku Perjanjian Waralaba
Suatu proses, kontrak yang ideal seharusnya mampu mewadahi pertukaran
kepentingan para pihak secara fair dan adil (proporsional) pada setiap fase atau tahapan
kontrak. Oleh karena itu, perlu dicermati adanya fase penting yang harus di lalui para pihak
dalam proses kontrak yaitu negosiasi. Negosiasi dalam kontrak komersial merupakan
perwujudan penerapan asas proporsionalitas menuju tahapan pembentukan kontrak. Fase
negosiasi merupakan ‘crucial point’ untuk merumuskan pertukaran hak dan kewajiban para
pihak yang nantinya mengikat dan wajib untuk dipenuhi.
Asas Proporsionalitas Kontrak Standar Pada Perjanjian
Waralaba
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Rachdinda Pradigda Al-Qarano 4
Hal ini tentunya bertentangan dengan karakteristik bisnis waralaba yang serba
cepat dan instan. Bayangkan jika sebuah perusahaan yang berdomisili usaha di Jakarta dan
ingin mempunyai 1000 franchise yang tersebar di seluruh Indonesia, lantas harus ber
negosiasi dengan satu per satu calon franchise, harus membuat klausul klausul kontrak
yang disepakati kedua belah pihak untuk mendapatkan keseimbangan dalam suatu
kerjasama usaha. Hal ini tentunya akan membuang banyak waktu. Oleh karena itu kontrak
baku sangatlah tepat digunakan dalam bisnis franchise jika di bandingkan dengan
perjanjian yang di negosiasikan. Kontrak baku/standar tidak hanya digunakan untuk
perjanjian bisnis berskala besar, karena kontrak jenis ini muncul di setiap level transaksi
bisnis bahkan bisnis berskala kecil.
Negosiasi berlarut-larut perlu dihindari supaya tidak memakan waktu yang terlalu
lama dan biaya yang makin banyak. Salah satu pihak biasanya pihak prinsipiel yang
berbentuk korporasi, memiliki konsultan hukum yang bertugas untuk menyusun syarat-
syarat perjanjian (term of conditions) tersebut. Dalam kontrak yang sudah dibakukan,
konsultan yang bersangkutan berusaha sedemikian rupa mengamankan dan melindungi
kepentingan kliennya dari kemungkinan kerugian yang timbul dari perjanjian.
Harus diperhatikan, walaupun proses negosiasi tidak diterapkan dalam perjanjian
waralaba, isi kontrak harus tetap memperhatikan hak dan kewajiban yang seimbang antar
pihak. (Hernoko, 2016) mengungkapkan bahwa kontrak pada dasarnya merupakan bagian
penting dari suatu proses bisnis yang syarat dengan pertukaran kepentingan di antara para
pelakunya. Merancang suatu kontrak pada hakikatnya “menuangkan proses bisnis ke dalam
format hukum”. Mengandaikan hubungan yang sinergis korelatif antara aspek bisnis
dengan hukum (kontrak). Ibarat lokomatif dan gerbongnya sebagai personifikasi aspek
bisnis sedang bantalan rel dimana lokomotif dan gerbong itu berjalan menuju tujuan
sebagai personifikasi aspek hukumnya (kontrak). Oleh karena itu, keberhasilan bisnis
antara lain juga akan ditentukan oleh struktur atau bangunan kontrak yang di rancang dan
disusun oleh para pihak. Namun patut disayangkan para pelaku bisnis merumuskan proses
bisnisnya dalam format kontrak yang asal-asalan, sehingga tidak memerhatikan proses,
prosedur serta norma perancangan kontrak yang benar (drafting contract process).
Suatu perjanjian/kontrak standart telah dibuat dengan memenuhi syarat- syarat
sahnya perjanjian, maka berlaku ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
pihak yang membuatnya dengan disertai konsekuensi pada ayat (2) yang menyatakan
bahwa suatu persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain melalui kesepakatan atau oleh
undang-undang. Lebih lanjut pada ayat (3) menekankan bahwa pelaksanaan perjanjian
harus dengan itikad baik.
Pembuatan Perjanjian Waralaba pada ketentuan Pasal 7 PP Nomor 42 Tahun 2007
menentukan sebagai berikut: “Pemberi waralaba harus memberikan prospektus penawaran
Waralaba kepada calon penerima waralaba pada saat melakukan penawaran”. Sehubungan
dengan hal tersebut pada Pasal 1 butir 6 Permendag nomor: 53/MDAG/PER/8/2012
menjelaskan bahwa:
“Prospektus penawaran waralaba adalah keterangan tertulis dari Pemberi
Waralaba yang sedikitnya menjelaskan tentang identitas Pemberi Waralaba, legalitas
usaha Pemberi Waralaba, sejarah kegiatan usahanya, struktur organisasi Pemberi
Waralaba, laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, jumlah tempat usaha, daftar
Penerima Waralaba, hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.”
Penggunaan kontrak standar pada perjanjian waralaba adalah perwujudan dari
salah satu asas kontrak, yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas ini dapat disimpulkan dari
Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
5 glosains.greenpublisher.id
dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap perjanjian
mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat ditarik kesimpulan
bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, bahkan
pada umumnya juga diperbolehkan mengeyampingkan peraturan-peraturan yang termuat
dalam KUH Perdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar
system). Sehingga dalam perjanjian waralaba yang menggunakan standart kontrak tetap
dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak
Kontrak standar dalam perjanjian waralaba memang sah dan mengikat kedua belah
pihak, namun menurut saya harus terdapat pembatasan. Pembatasan tersebut dilakukan
untuk menekan penyalahgunaan keadaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas
kebebasan berkontrak. Hal ini berkaitan dengan teori keadilan karena dalam praktiknya
pembatasan ini dapat ditemukan pada UU Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Iskandar, 2017).
Adanya perjanjian baku, karena merupakan keharusan di dunia bisnis saat ini dan
diperbolehkan oleh undang-undang, yaitu atas dasar kebebasan berkontrak. Kebebasan
berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam
beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya :
1. Bebas menentukan apakah akan melakukan perjanjian atau tidak
2. Bebas menentukan dengan siapa akan melakukan perjanjian
3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
4. Bebas menentukan bentuk perjanjian
Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnnya.
Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK menyebutkan tujuan dari larangan
pencantuman klausul baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan
kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak. Karena pada dasarnya, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas
kebebasan berkontrak. Klausul baku menjadi tidak patut ketika kedudukan para pihak
menjadi tidak seimbang karena pada dasarnya, suatu perjanjian adalah sah apabila
menganut asas konsensualisme disepakati oleh kedua belah pihak dan mengikat kedua
belah pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagai undang-undang.
Pelanggaran terhadap asas konsensualisme tersebut dapat mengakibatkan
perjanjian antara kedua belah pihak menjadi tidak sah. Oleh karena itu, klausul baku yang
mengandung klausul eksonerasi dilarang oleh hukum. Meskipun perjanjian baku yang
mengandung klausul eksonerasi telah diperjanjikan sebelumnya, perjanjian tersebut tidak
dapat dianggap sah karena mengandung ketentuan/klausul yang bertentangan dengan
undang-undang. Jadi pada dasarnya kontrak baku perjanjian waralaba dibuat untuk
kepentingan praktis para pihak agar proses perjanjian tidak memakan waktu dan biaya
banyak. Namun tetap harus dipertimbangkan dari sisi keadilan yang dalam hal ini di
keluarkannya beberapa peraturan oleh pemerintah Indonesia yang mengatur tentang
kontrak baku.
Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak
sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan
pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk
perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para
pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.
Asas Proporsionalitas Kontrak Standar Pada Perjanjian
Waralaba
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Rachdinda Pradigda Al-Qarano 6
Salah satu asas yang digunakan untuk mengukur keseimbangan dalam berkontrak adalah
asas proporsionalitas
Menurut (Hernoko, 2016), asas proporsionalitas dalam kontrak yang diartikan
sebagai asas yang melandasi pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai porsinya atau
bagiannya. Asas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan (kesamaan)
hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para
pihak. Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan
berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa
hal justru menimbulkan ketidakadilan.
Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan. Pertama,
pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan
kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan substantif yang
menekankan kandungan atau substansi serta pelaksanaan kontrak. Dalam pendekatan
substantif perlu diperhatikan adanya kepentingan yang berbeda.
Asas proporsionalitas tidak hanya penting untuk menghasilkan kontrak yang
berkeadilan dan saling menguntungkan (keadilan substansial), namun dengan asas
proporsionalitas penting juga untuk menekankan adanya fairness (keadilan dalam
prosedur), sehingga atas perannya tersebut seyogyanya asas proporsionalitas dapat selalu
terlibat dalam setiap proses pembentukan kontrak.
Kelancaran pelaksanaan perjanjian waralaba akan terjamin jika para pihak dan isi
perjanjian waralaba harus selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan. Dalam
perjanjian franchise kewajiban-kewajiban franchisor seringkali tidak dicantumkan secara
tegas, sehingga seringkali menimbulkan ketidakseimbangan. Dengan alasan untuk
menstandarkan bisnis franchise, franchisor dapat menentukan agar franchise menjalankan
ketentuan tersebut tentunya dengan biaya-biaya lain (other fees) yang ditanggung sendiri.
Dalam hal demikian franchise tidak dapat menolak, meskipun seringkali terdapat
kewajiban-kewajiban yang sebenarnya tidak diperlukan.
Perancangan kontrak baku pada waralaba, ada syarat syarat tertentu agar tidak
memunculkan klausa eksonerasi yang cenderung merugikan pihak franchisee sebagai pihak
yang lemah. Eksonerasi yang timbul karena kesengajaan pengusaha bertentangan dengan
kesusilaan. Kalimat yang menyebutkan “pihak pertama lepas dari tanggung jawab yang
timbul dari padanya” merupakan klausula eksonerasi yaitu syarat yang membatasi atau
membebaskan tanggung jawab salah satu pihak atau perseorangan dalam melaksanakan
perjanjian. Syarat eksonerasi ini muncul dikarenakan salah satu pihak tidak ingin menderita
kerugian terlalu banyak terhadap suatu perbuatan, maka menghindari kerugian dengan
membuat klausula eksonerasi.
Ketentuan pasal 18 undang-undang perlindungan konsumen , larangan penggunaan
perjanjian baku dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya, dari segi
isinya dilarang menggunakan perjanjian baku yang memuat klausulaklausula yang tidak
adil, sedang dari segi bentuk penulisannya, klausul-klausul itu harus dituliskan dengan
sederhana, jelas dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti dengan baik.
Perjanjian waralaba terdapat klausul yang mencerminkan asas proporsionalitas di
antaranya adalah :
1. Klausul fee dan royalty
Pencantuman klausul fee dan royalty, terkait dengan kewajiban franchise untuk
memnuhi kewajiban membayar sejumlah uang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
komitmen kerja sama. Kewajiban pembayaran fee ini pada umumnya dilakukan pada awal
pelaksanaan hubungan kontraktual. Sedangkan pembayaran royalty , merupakan bentuk
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
7 glosains.greenpublisher.id
pembayaran terhadap hasil penggunaan atau pemanfaatan hak (HKI), produk maupun
manajemen oleh franchise.
2. Klausul pengawasan (quality control product and management)
Pencantuman klausul pengawasan (quality control product and management)
merupakan bagian dari komitmen franchise untuk menjaga image (nama baik) produk milik
franchisor. Klausul ini penting, mengingat terjaganya kualitas produk maupun bentuk
pelayan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha. Untuk itu bentuk pengawasan
yang ketat merupakan upaya mempertahankan kelangsungan franchise itu sendiri
3. Klausul penggunaan bahan atau produk franchisor (tie-in clause)
Pencantuman klausul penggunaan bahan atau produk franchisor (tie in clause),
merupakan bagian dari proses bisnis franchise untuk menjaga mutu produk agar tetap
memenuhi standar kualitas yang ditentukan. Bahkan acap kali klausul terkait dengan
kerahasiaan produk atau jasa yang di franchise-kan
4. Klausul daerah pemasaran eksklusif
Pencantuman klausul daerah pemasaran eksklusif ini terkait kebijakan untuk
mengatur jaringan distribusi franchisee, selain untuk menghindari persaingan sesana
franchisee juga diharapkan memberi jaminan hasil investasi yang telah ditanamkan oleh
franchisee
5. Klausul Kerahasiaan
Pencantuman klausul kerahasiaan dimaksudkan untuk mengikat franchise agar tidak
membocorkan rahasia yang telah dilisensikan tersebut kepada pihak lain tanpa seizin
tertulis franchisor. Hal ini sangat erat kaitannya dengan HAKI, besarnya investasi
franchisor serta pertimbangan bisnis lainnya.
Perjanjian waralaba juga masih sering ditemukan perumusan pasal-pasal dalam
perjanjian waralaba yang tidak memberikan kedudukan seimbang seperti :
1. Pasal mengenai perpanjangan jangka waktu dimana dalam perpanjangan jangka
waktu mensyaratkan tergantung dari penilaian pemberi waralaba dan biaya
imbalan waralaba yang akan ditentukan oleh pemberi waralaba dari waktu ke
waktu. Hal ini menimbulkan suatu keadaan yang tidak pasti bagi penerima
waralaba karena rumusan klausula tersebut tidak bersifat limitative sehingga
dikhawatirkan akan memberatkan penerima waralaba.
2. Perumusan pasal mengenai non kompetisi yang menyatakan bahwa penerima
waralaba dilarang, langsung atau tidak langsung menjalankan, mengoperasikan,
mendirikan usaha-usaha sejenis atau yang sama dengan yang dijalankan pemberi
waralaba dimaksud dalam perjanjian ini selama berlakunya perjanjian ini serta
dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
berakhirnya perjanjian ini. Menurut penulis, seharusnya dalam pasal ini
ditambahkan dengan ketentuan usaha sejenis yang dijalankan tersebut
menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari pemberi waralaba. Usaha yang
sejenis yang dimaksud dalam pasal tersebut juga terlalu luas, seharusnya
disebutkan secara jelas usaha yang bagaimana yang dapat dikatakan sejenis,
apakah usaha warungan yang menjual kebutuhan sehari-hari juga dapat dikatakan
sebagai usaha sejenis atau pembukaan bimbingan belajar dirumah dengan sistem
yang sederhana juga dapat dikatakan sebagai usaha yang sejenis.
3. Perumusan pasal mengenai hak dan kewajiban, menurut penulis juga belum
memberikan kedudukan yang seimbang antara pemberi dan penerima waralaba.
Hal ini dikarenakan dalam salah satu perjanjian waralaba yang penulis teliti tidak
ada satupun ketentuan yang mengandung kewajiban bagi pemberi waralaba, yang
ada hanya kewajiban bagi penerima waralaba dan pemberi waralaba dirumuskan
hanya akan melakukan suatu prestasi yang dapat ditafsirkan bahwa perbuatan
Asas Proporsionalitas Kontrak Standar Pada Perjanjian
Waralaba
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Rachdinda Pradigda Al-Qarano 8
tersebut sebagai suatu kesukarelaan dari pemberi waralaba dan bukan menjadi
sebuah kewajiban baginya.
4. Ketentuan mengenai berakhirnya perjanjian atau perjanjian yang tidak
diperpanjang lagi dimana pada saat berakhirnya perjanjian, atau bila perjanjian
waralaba itu tidak diperpanjang lagi, penerima waralaba diwajibkan
mengembalikan dan menghentikan seluruh penggunaan merek jasa, trade secret,
know how, termasuk juga pengembalian seluruh material yang berkaitan dengan
identitas pemberi waralaba. Dalam kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa
kedudukan penerima waralaba sebagai pemilik modal sangat lemah, sebab dana
yang telah diinvestasikan ke dalam usaha waralaba tersebut tidak dapat dijalankan
secara independen dan secara hukumpun penerima waralaba tidak dapat
perlindungan hukum yang memadai.
5. Ketentuan mengenai perubahan atau penambahan pada gerai milik penerima
waralaba dimana bila ada perubahan atau penambahan pada gerai milik penerima
waralaba yang dimintakan oleh pemberi waralaba, yang mana menurut pemberi
waralaba penambahan atau perubahan sangat dibutuhkan dalam rangka perbaikan
mutu gerai, maka seluruh biaya yang diakibatkannya merupakan tanggung jawab
pihak penerima waralaba. Keadaan ini tentunya merupakan tambahan yang dapat
membebani penerima waralaba.
6. Perumusan Pasal tentang renovasi gerai atau perbaharuan peralatan berdasarkan
atas keinginan pemberi waralaba, maka kewajiban penerima waralaba adalah harus
mengikuti kehendak pemberi waralaba. Hal ini berarti memberikan tambahan juga
bagi penerima waralaba harus mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu pemberi
waralaba menghendaki adanya renovasi atau pemindahan gerai.
7. Perumusan pasal yang di dalamnya terdapat ketentuan yang disebut tying
agreement. Tying Agreement yaitu klausula yang mengikat penerima waralaba
untuk membeli bahan baku kepada pemberi waralaba tidak boleh membeli bahan
baku pada pihak lain.
B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Kasasi No. 995 K/Pdt/2015 dan no.
83/Pdt.G/2018/PN Tjk
Salah satu contoh perkara yang berakhir dengan sengketa di pengadilan adalah
perkara mengenai perjanjian waralaba antara Subandi selaku tergugat (franchise) dan PT
Star Abadi Ratu Indonesia selaku penggugat (franchisor) di register dengan nomor 995
K/Pdt/2015 pada tanggal 23 Oktober 2015. Perkara ini di mulai dengan gugatan
wanprestasi dari franchisor kepada pihak franchisee yang telah melakukan pemutusan
kontrak Kerjasama waralaba secara sepihak. Yang kemudian pihak tergugat menggugat
balik (gugatan rekovensi) dengan pokok atau dasar gugatan asas proporsionalitas yang
tidak terpenuhi dalam perjanjian tersebut.
Penggugat adalah pemilik dari franchise salon yang bernama SARI (Star Abadi
Ratu Indonesia) dan tergugat adalah franchise dari franchise salon tersebut. Antara
penggugat dan tergugat telah terjadi hubungan hukum berupa perjanjian kerjasama yang
dituangkan dalam akta notaris.
Franchise wajib menyediakan lokasi tempat usaha berupa rumah, gedung,
perkantoran, atau ruko dengan lokasi yang strategis, tersedia sarana parkir dan terjangkau
oleh sarana transportasi umum. Seiring berjalan nya waktu, pihak penggugat menemukan
tergugat melakukan wanprestasi atas perjanjian yang telah dibuat, berupa penyalahgunaan
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
9 glosains.greenpublisher.id
lahan lokasi tempat usaha. Tergugat nyata telah mengurangi, memperkecil, dan
mempergunakan fasilitas salon, berupa sarana prasarana ruangan perawatan kecantikan,
area parkir dan lain-lain untuk kepentingan lain.
Kemudian tergugat (franchise) membatalkan kontrak secara sepihak yang
menyebabkan wanprestasi perjanjian yang tidak seimbang. bahwa ternyata franchisor tidak
mempunyai proforma keuangan sama sekali namun tetap membujuk penggugat rekovensi
untuk menandatangani perjanjian dengan menjanjikan pahwa pihak franchise akan
memperoleh keuntungan. Franchise menyatakan bahwa setelah perjanjian berjalan,
franchisor terus menerus menikmati dan mengambil keuntungan dari franchise, tanpa
memikul tanggung jawab apapun juga.
Semua pegawai yang bekerja di salon tersebut dibayar dan digaji oleh franchisor,
tetapi franchisee sama sekali tidak diberi wewenang untuk melakukan perekrutan pegawai
dan tidak diberi wewenang campur tangan dalam hal manajemen. Selain itu pihak
franchisee juga harus membeli peralatan seperti meja rias dll milik franchisor, namun
anehnya, dalam perjanjian Waralaba Sari diatur bahwa karena design meja meja rias tetap
menjadi milik franchisor, maka meja meja riastetap menjadi milik franchisor, sehingga
apabila perjanjian berakhir, maka franchisee harus mengembalikan meja meja tersebut
kepada franchisor. Franchisor setiap bulan menerima 10% dari penghasilan kotor dari
pemasukan yang diperoleh dari pelanggan, tanpa mempedulikan apakah pemasukan
bulanan cukup atau tidak untuk membayar dan menutupi biaya operasional salon dan spa.
Contoh kedua sengketa yang didasarkan pada asas proporsionalitas pada perjanjian
waralaba putusan franchisor dan perbuatan melawan hukum. Putusan ini berakhir di
pengadilan tingkat 1 dengan amar putusan mengabulkan eksepsi tergugat I dan tergugat II
menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwewenang mengadili perkara ini, serta
menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara.
Perkara kedua ini banyak sekali terjadi ketidak seimbangan pada proses pra
kontrak, dan tahapan pelaksanaan kontrak dikarenakan penggunaan kontrak standar yang
tidak menerapkan asas proporsionalitas. Menurut keterangan penggugat adalah Bahwa
sebelumnya, Para Tergugat telah menyiapkan draft Perjanjian Waralaba (Franchise) secara
sepihak tanpa mendiskusikan dan menjelaskan maksud-maksud dan pengertian dari tiap
klausula yang ada dalam Perjanjian Waralaba tersebut kepada Para Penggugat. Para
Tergugat juga tidak pernah menunjukkan bukti-bukti formal dari identitas diri Para
Tergugat dan izin-izin, kepemilikan hak-hak yang terkait dengan usaha waralaba dari
tergugat. Pada point ini, menurut saya hal ini sangat sangat merugikan pihak franchisee.
Pihak ekonomi kuat selalu berperan sebagai pihak yang lebih diuntungakan.
Ketidakberdayaan pihak yang lemah semakin membuat posisi pihak ekonomi kuat
berkesempatan untuk memperlakukan pihak lemah dengan semena mena.
Selain itu sejak saat akta perjanjian waralaba tersebut dibuat dan di tandatangani
oleh pihak franchisor dan franchisee, pihak franchisor tidak bisa menunjukan asli atau
Salinan dari dokumen-dokumen milik tergugat I (franchisor). Serta dokumen dokumen lain
yang berkaitan dengan perjanjian waralaba, termasuk hak merk, hak cipta, hak paten, dan
Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari Kantor Pelayanan Pajak, atas nama
PT Kartika Ayoe. Dan setelah di lakukan pengecekan oleh tim penggugat (franchisee),
bahwa ternyata Kementrian Hukum dan Ham belum pernah menerbitkan Sertifikat Hak
Merek, Sertifikat Hak Cipta dan Sertifikat Hak Paten “Elty Clinic” atas nama dr. Henny
Kartika Sari (tergugat II) atau PT Kartika Ayoe (Tergugat I). Kantor Pelayanan Pajak
Tanjung Karang, Bandar Lampung juga tidak pernah mengeluarkan Surat Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas Nama PT Kartika Ayoe (franchisor).
Kedua putusan yang telah di jabarkan di atas mempunyai kesamaan yaitu
terabaikan nya asas proporsionalitas dalam pembuatan kontrak baku bisnis waralaba.
Asas Proporsionalitas Kontrak Standar Pada Perjanjian
Waralaba
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Rachdinda Pradigda Al-Qarano 10
Bahkan pada putusan ke dua, pihak franchisee tidak diberi waktu untuk memahami isi dari
kontrak tersebut. Hakim dalam mempertimbangan keputusannya seharusnya
mempertimbangkan asas asas dalam berkontrak. Karena asas hukum memiliki tujuan untuk
memberikan arahan yang layak atau pantas menurut hukum dalam hal menggunakan atau
menerapkan aturan-aturan hukum. Dengan asas tersebut dapat pula diketahui mana-mana
aturan yang layak dan tidak layak dijalankan. Demikian pula dengan asas proporsionalitas,
sebagaimana asas-asas hukum yang lain, juga diharapkan dapat menjadi titik tolak dalam
pembentukan suatu kontrak, agar suatu kontrak yang diadakan sesuai dengan nilai dan
kehendak masing-masing pihak.
Asas hukum menjadi sangat penting dalam pengaturan kontrak karena terbukti
nyata, terabaikan nya asas-asas dalam berkontrak dapat mendorong pihak yang berkontrak
untuk melakukan wanprestasi. Seperti contoh putusan di atas, alasan pihak franchisee
melakukan wanprestasi adalah tidak terpenuhinya asas asas dalam berkontrak diantaranya
adalah asas proporsionalitas, asas itikad baik, dan asas kebebasan berkontrak. Walaupun
pada umumnya tidak ada sanksi apabila hukum positif tidak mengindahkan asas hukum,
namun jika hal itu tersebut terjadi, maka sangat mungkin hukum positif tersebut tidak atau
kurang memenuhi dasar-dasar keberlakuan hukum yang baik. Dasardasar keberlakuan
hukum yang dimaksud yaitu dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Maka dari itu ada
kalanya suatu asas hukum dijadikan pertimbangan oleh badan yudisial dalam mengadili
perkara tertentu.
Paul Scholten, mengartikan asas-asas hukum itu “tendensi-tendensi yang
disyaratkan kepada hukum oleh paham kesusilaan kita”. Dipahami asas-asas hukum itu
sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum,
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan- ketentuan dan keputuan-keputusan
individual dapat dipandang sebagai penjabarannya
Asas hukum memiliki fungsi yang krusial bagi pembentukan hukum konkrit serta
bagi pengaturan dan pembentukan perjanjian. Di samping itu, asas hukum juga memiliki
fungsi sebagaimana dikemukakan oleh Smith dalam (AFWIN, Syaifuddin, & Afrilia,
2020), yaitu :
1. Asas-asas hukum berfungsi untuk menjaga keterjalinan atas aturan-aturan hukum
yang tersebar.
2. Asas-asas hukum berfungsi sebagai dasar pemecahan atas masalah-masalah yang
timbul dan baru.
3. Asas-asas hukum berfungsi sebagai dasar pembentukan ajaran hukum baru yang
dapat dijadikan dasar penyelesaian atas masalah yang baru
Agar perlindungan dan keadilan terwujud dalam suatu perjanjian, diperlukan
keselarasan dari seluruh asas-asas hukum perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith),
asas kepribadian, asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas
kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, dan asas perlindungan (Sinaga, 2018).
Keseluruhan asas ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya, tidak dapat dipisah-
pisahkan, diterapkan secara bersamaan, berlangsung secara proporsional dan adil, dan
dijadikan sebagai bingkai mengikat isi perjanjian tersebut. Dengan demikian diharapkan
penerapan hukum yang ideal dan dikehendaki dapat terwujud.
Vol. 2, No. 1, Januari 2021
e -ISSN 2798-4311 | p-ISSN 2798-4125
11 glosains.greenpublisher.id
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa asas
proporsionalitas adalah asas yang mengatur pertukaran hak dan kewajiban serta pembagian
risiko yang seimbang antara kedua belah pihak. Dalam hubungan kontraktual, asas
proporsionalitas harus terpenuhi untuk mencapai suatu bentuk keadilan. Dalam kontrak
baku waralaba kedua unsur perjanjian harus dapat terpenuhi, yang pertama adalah unsur
esensialia yang ditandai dengan ditandatanganinya kontrak baku perjanjian waralaba oleh
penerima waralaba yang berarti setuju dengan substansi dan ketentuan waralaba yang
ditawarkan. Diharapkan asas proporsionalitas dapat efektif digunakan dalam seluruh
tahapan kontrak, mulai dari tahap pra kontrak, kontrak, dan pelaksanaan kontrak. Yang
kedua adalah unsur naturalia, dimana dalam kontrak baku perjanjian waralaba harus
memperhatikan regulasi yang berlaku. Seperti Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007
tentang Waralaba serta memperhatikan keperntingan konsumen (franchisee) sesuai dengan
Pasal 18 Undang-Undang Perlindugan Konsumen.
Kontrak baku dalam perjanjian waralaba diperbolehkan untuk digunakan, sah dan
mengikat kedua belah pihak. Hal ini sebagai perwujudan asas kebebasan berkontrak
dimana segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Latar belakang dibuatnya kontrak standart untuk perjanjian
Kerjasama waralaba adalah untuk kepentingan praktis para pihak agar proses perjanjian
tidak memakan waktu dan biaya yang banyak. Pada kenyataannya kontrak baku sudah
dipakai secara luas dalam bisnis waralaba dari dulu dan lahir dari kebutuhan masyarakat.
Penggunaan kontrak standart pada waralaba memang dapat menimbulkan pengikisan asas
kebebasan berkontrak dan asas proporsionalitas, namun pasal 1337, 1338 ayat (3), dan
1339 KUHPerdata dapat digunakan sebagai pembatas atau tolok ukur, apakah suatu
perjanjian waralaba yang menggunakan kontrak baku terdapat klausul yang memberatkan
salah satu pihak atau tidak.
Bibliography
Afwin, Asta Ajeng Auliya, Syaifuddin, Muhammad, & Afrilia, Dian. (2020).
Perlindungan Hukum Yang Proporsional Bagi Perusahaan Rintisan (Startup)
Dan Konsumen Dalam Sistem Hukum Perdagangan Nasional Berbasis
Elektronik Di Indonesia. Sriwijaya University.
Anshori, Abdul Ghofur. (2018). Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia: Konsep,
Regulasi, Dan Implementasi. Ugm Press.
Felicia, Sheila. (2010). Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian
Waralaba (Analisis Kontrak Bisnis Waralaba Lokal “Apotek K-24” Di
Semarang). Universitas Diponegoro.
Handriani, Aan. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Debitur Dalam Perjanjian
Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Pamulang Law Review, 2(2), 141150.
Hernoko, Agus Yudha. (2016). Asas Proporsionalitas Sebagai Landasan Pertukaran
Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Komersial. Jurnal Hukum
Dan Peradilan, 5(3), 447465.
Iskandar, M.Roji. (2017). Pengaturan Klausula Baku Dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Dan Hukum Perjanjian Syariah. Amwaluna: Jurnal
Ekonomi Dan Keuangan Syariah, 1(2), 200216.
Karamoy, Amir. (2013). Waralaba-Jalur Bebas Hambatan Menjadi Pengusaha
Sukses. Gramedia Pustaka Utama.
Asas Proporsionalitas Kontrak Standar Pada Perjanjian
Waralaba
Glosains: Jurnal
Global Indonesia
Rachdinda Pradigda Al-Qarano 12
Priyono, Ery Agus. (2018). Aspek Keadilan Dalam Kontrak Bisnis Di Indonesia
(Kajian Pada Perjanjian Waralaba). Law Reform, 14(1), 1528.
Santosa, Eko Budi. (2018). Perjanjian Waralaba Dalam Kegiatan Jenis Usaha Ritel.
Sapientia Et Virtus, 3(2), 122136.
Sari, D. W. I.Purnama, Utama, Meria, & Syahmin Ak, Syahmin A. K. (2013). Asas
Kebebasan Berkontrak Dalam Kontrak Baku Internasional Yang Diatur
Unidroit Principles. Sriwijaya University.
Simbolon, Cut Helmi Yanti, Priyono, Ery Agus, & Hendrawati, Dewi. (2016).
Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Waralaba Masaji Fried
Chicken. Diponegoro Law Journal, 5(2), 111.
Sinaga, Niru Anita. (2018). Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam
Mewujudkan Tujuan Perjanjian. Binamulia Hukum, 7(2), 107120.
Susiana, Susiana. (2015). Kontrak Baku Franchise Ditinjau Dari Ketentuan
Unidroit Dan Kuh Perdata. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 17(1), 6182.
Waskita, Muhammad Panji. (2018). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem
Franchise Syariah Kebab (Studi Kasus Di Kantor Cabang Kebab Corner
Serang). Universitas Islam Negeri“ Smh” Banten.
Widodo, Hendro. (2016). Peran Notaris Dalam Perjanjian Franchise/Waralaba
(Studi Kasus Waroeng Steak Supriadi Kota Semarang). Fakultas Hukum
Unissula.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-
ShareAlike 4.0 International License.